Jumat, 30 Desember 2011

salah memilih jurusan


A.     PENDAHULUAN
Fenomena  “salah mengambil jurusan” yang melanda para pelajar menjadi ketertarikan saya untuk mengekslornya lebih jauh. Sebab salah mengambil jurusan merupakan sebuah fenomena yang saya alami saat ini. Dan Tak jarang orang tua “menjadi sasaran tembak” untuk menghilangkan rasa kegelisahan yang menyelimuti pikiran,  antara kenyataan serta harapan yang saya hadapi. Keinginan orang tua yang begitu kerasnya memaksa saya untuk tetap  memilih jurusan yang ia sarankan.hingga saya menyadari akan “salah memilih jurusan”,. Namun belakangan  terkadang ada semacam “sisi lain” yang dibalik kesalahan “seseorang”  dalam mengambil jurusan , Olehnya itu saya mencoba untuk merumuskan beberapa hal yang menjadi “keterjebakan” seseorang dalam mengambil jurusan. Yang bisa jadi ini berkaitan dengan dibalik “keterpaksaan kehendak” orang tua.

1.      pengaruh Gejala sosial, komunikasi politik, dan ekonomi politik pemerintah  
Perkembangan zaman seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia yang semakin maju, tentu mempengaruhi gejala sosial. Salah dalam mengambil jurusan pada dasarnya tidak serta merta orang tua menjadi sumber masalah.
Sebab, harapan orang tua yang sering bertentangan dengan harapan serta keinginan seorang anak dalam mengambil jurusan  muncul tidak terlepas daripada situasi lingkungan masyarakat yang menghampirinya.  
Khususnya Indonesia, gejala sosial memperlihatkan betapa kompleksnya setiap permasalahan, yang memaksa kita tidak harus memandang satu sisi sebuah permasalahan. Melainkan memandang setiap pergolakan sosial harus dipandang sebagai sebuah “kompleksitas” dari sisi kebutuhan masyarakat, dari unsur-unsur  apapun itu.
Pergolakan sosial di Indonesia tidak secara alamiah terjadi dalam internal, melainkan sebagian besar gejolak sosial yang ada selalu berhubungan dengan kepentingan internasional(efek eksternal) yang menggunakan undang-undang Negara  sebagai alat legitimasi untuk menguasai sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Perlu dipahami bahwa watak kepentingan internasional sesunggunya dikenal dengan istilah imprealisme,. Imprealisme adalah Proses asimilasi, transformasi budaya, ekonomi politik, Negara-negara maju/industry(yang pada dasarnya mereka telah mapan dan menyadari akan zamannya) mempengaruhi Negara-negara berkembang(khususnya indonesia), yang menyebabkan ekspansi kolonialisme untuk mengendalikan Negara-negara sedang berkembang. Disinilah kiranya bagi saya Menyebabkan ketidak mampuan kita menciptakan sebuah proyeksi Negara dalam bidang pendidikan dan berefek kepada generasi intelektualnya dan khususnya dalam dunia pendidikan. 
  Tuntunan zaman, yang menjadi sebab ketergantungan pemerintah terhadap Negara maju mempengaruhi system yang ada di Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan di Indonesia. Ketergantungan Indonesia serta ketidak mampuan pemerintah dalam memproyeksikan Negara, menciptakan “skeptisme massal”  di masyarakat.
Sejak Negara-negara maju(industri) mengarahkan pandangannya di Indonesia dengan prinsip “MODAL – KERJA/TENAGA KERJA-MENGHASILKAN MODAL”, maka dimulailah setiap sendi-sendi kehidupan  di Indonesia dianggab sebagai  “lahan basah”. Maka dunia pendidikan menjadi sasaran penting bagi para “kapitalisme” dan jurusan yang ada dalam dunia institusi pendidikan di indonesia “mau tak mau”  harus sejalan dengan kepentingan kapitalisme.
Keterjebakan pemerintah dalam percaturan politik dunia, mengguncang psikologi massa dan mempengaruhi, psikologi sosial,  pola berpikir, sikap, konsumsi serta kebutuhan sekunder  masyarakat.
Maka jangan heran jurusan-jurusan dalam dunia instutusi pendidikan diakui di indonesia jika sejalan dengan kebijakan politik Negara-negara maju yang dalang dari pada itu adalah “tangan-tangan tak terlihat”  menghegomoni masyarakat Indonesia, yang  pada akhirnya mengabaikan ilmu-ilmu yang berkembang di Indonesia yang hadir berkat kreatifitas pendahulunya yang belum sempat dikembangakan dibiarkan mati begitu saja.
Dalam bidang  pendidikan, kebijakan pemerintah  hampir setiap tahunnya selalu berubah seiring dengan berubahnya paradigm pendidikan  Yang membawa institusi pendidikan semakin jauh dari tujuan awal kehadirannya di tengah-tengah masyarakat.
Beralihnya paradigm pendidikan, secara tidak langsung merubah pola pikir pelajar, menyebabkan  keterjebakan pelajar pada hidup yang hedonism. Pendidikan  bukan lagi beriorentasi pada menggali hakikat jurusan yang diambil oleh para pelajar di perguruan tinggi atau pendidikan menghadirkan hal-hal yang sifatnya komplementer demi pengembangan pendidikan kedepan yang kelak akan di eksplor oleh generasi , melainkan mengarahkan pada orientasi kerja semata untuk memenuhi kebutuhan(bisa dibilang: pendidikan di Indonesia adalah mengkaji ilmu pendidikan yang berulang-ulang atau stagnan).
Paradigm pelajar yang beriorientasi pada hedonism atau mencari pekerjaan semata tentu mempengaruhi “informasi”dan”stegmen” yang semakin berkembang hingga mempengaruhi status sosial dalam masyarakat. Ditambah lagi dengan dihadapkan pada bentuk-bentuk fase  perkembangan mayarakat di Indonesia yang tidak merata. kalau di Negara-negara maju bentuk pertarungannya adalah pertarungan sesama pengusaha serta gejolak perkembangan pengetahuan, maka di Indonesia selaian pengusaha yang ketergantungan modal yang saling bertarung dilain pihak disekitar kita terjadi  gejolak pertarungan antara yang “bertitel” dan yang “berkantong”.
Orang tua yang tidak mengetahui gejala sosial yang berkembang, hanya mampu melihat keberhasilan seseorang  jika seseorang itu memiliki “title” dan “berkantong”  bukan pada “tingkat”kemampuan seorang anak dalam melakukan eksplorasi pengetahuan. Hingga inilah yang menjadi alasan orang tua seringkali “terjadi pemaksaan” tarhadap anaknya dalam mengambil jurusan dan mendorong seorang anak untuk mengambil jurusan yang bertentangan dengan kemampuannya. Sebab pikiran orang tua telah terpetakan pada aspek “pekerjaan” bukan pada pengembangan pengetahuan. pikiran orang tua telah terpetakan hanya pasa aspek memperoleh provit dan “kantong”. Pada aspek inilah seorang anak dipaksakan untuk mengambil jurusan meski tidak sesuai dengan aspek kemampuan yang dimiliki anak. Ditambah lagi pemerintah hanya mengembangkan jurusan-jurusan yang berorientasi pada dunia kerja demi menghasilkan provit.
 Olehnya itu, SALAH  DALAM DALAM MEMILIH JURUSAN. Tidak serta merta seorang anak ataupun orang tua menjadi sebab. Melainkan salahnya dalam mengambil jurusan yang terjadi dikalangan pelajar Indonesia adalah  pemerintah  “sengaja ”untuk memang pelajar salah dalam mengambil jurusan. Yang memang “sebuah perangkat” yang sengaja dipasang oleh pemerintah akibat keterjebakannya. Tuntunan zaman serta ketidak pastian pemerintah dalam memproyeksikan Negara menyebabkan pelajar harus mengambil jurusan yang sengaja diciptakan serta diakui oleh kalangan yang berkepentingan. Sebab jurusan yang ada dalam di institusi pendidikan tidak lagi beriorentasi pada “mencari hakikat”pengetauan. Melainkan beriorientasi pada pekerjaan (yang telah dirancang untuk menjalankan serta memfungsikan alat-alat industri “bukan mencitakan sesuatu yang baru” untuk kepentingan industry maju yang di dalangi oleh kapitalisme internasional yang tumbuh subur di Indonesia ) dan mengajarkan pelajar untuk bersifat egoistis dalam masyarakat. Maka kebanyakan pelajar mengambil jurusan ada hanya bersifat “keterpaksaan” demi tuntunan ekonomi.

2.      Kebijakan politik pemerintah daerah
Ditambah pula dengan politik pemerintah daerah yang berorientsi pada kepentingan, yang tak mampu menyediakan “hal-hal yang komplementer” guna menampung para ilmuan untuk mengembangkan kreatifitasnya, mendorong  generasi  menghilangkan kreatifitasnya dan “terpaksa” mengambil jurusan yang ada serta diakui , demi menjadi pegawai negeri sipil agar bisa mendapat tunjangan seumur hidup,serta dihormati dalam masyarakat.
Bisa dibilang peran politik pemerintah daerah ikut  mempengaruhi sertapula yang menyebabkan kesalahan dalam mengambil jurusan seorang pelajar, akibat system pendidikan yang hanya  memihak pada orang-orang tertentu.
Seringkali pemerintah daerah hanya membuka serta mementingkan jurusan-jurusan eksakta. Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam menyediakan “hal-hal yang sifatnya komplementer”  dalam menampung kreatifitas ilmu-ilmu non eksakta. Memaksa pelajar yang kemampuannya dibidang non eksakta mengambil jurusan yang sifatnya eksakta demi mendapat gelar sarjana serta memperoleh status sosial dalam masyarakat. Hal inipun menjadi pertimbangan orang tua.
Logika pelajar demikian kebanyakan hanya tertuju pada pada “memperoleh gelar” semata. Untuk itu bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukannya  hanya sebatas “olah raga otak”.

3.      Peran orang tua
Peranan orang tua dalam hal mengarahkan anaknya untuk mengambil jurusan “bagi saya” berbanding lurus dengan harapan serta skeptisme menyangkut masa depan anaknya. Bagaimanapun juga orang tua(selama masih hidup) selalu memikirkan masa depan anaknya kelak sepeninggalnya. Dan hal inilah seringkali berbanding terbalik dengan harapan serta keinginan cita-cita seorang anak.
Orang tua yang sadar akan alur kehidupan zaman, pastilah  telah menanam benih bagi anaknya. Apakah itu berbentuk modal maupun berbentuk “landasan atau seperengkat”teka-teki kehidupan.
Orang tua yang termakan oleh zaman yang tidak menanamkan benih-benih “kesadaran” kepada anaknya agar kelak anak bisa menyadari zamannya serta membahasakannya, entah itu melalui pikiran serta tindakannya, akan memaksa keras kepada anaknya untuk mengikuti keinginan orang tua. Efek daripada itu akan menghasilkan dilemma seorang anak apakah mengikuti atau menolak. Doktrin agama telah mengajarkan bahkan telah mengakar, membantah permintaan orang tua adalah sebuah dosa. Olehnya itu tak jarang kalangan pelajar mengambil jurusan tak sesuai dengan keinginannya karna takut akan doktrin agama  itu. Ia terpaksa mengambil jurusan sesuai dengan keinginan orang tua. Doktrin agama, siapapun itu perlu barhati-hati dalam menyikapinya. Karena sang anak sering kali terbayang-bayangi antara “neraka atau surga” jika ia tidak mempertimbangkan pertimbangan orang tua.





 PANDANGAN BIMBINGAN DAN KONSELING


B.     PEMBAHASAN
Semua orang tua tentu ingin anak-anaknya meraih kesuksesan, dalam arti memiliki pekerjaan dan berpenghasilan layak. Untuk mencapai sukses tersebut, orang tua cenderung menggiring anak untuk memiliki cita-cita yang populer, seperti menjadi dokter, guru, pegawai bank, dan profesi formal lainnya.Orang tua akan merasa sedih bila anak-anak mereka hanya bercita-cita menjadi petani, pedagang, atau profesi yang seolah tak bergengsi lainnya.
Pikiran orang tua seperti itu sebenarnya merupakan warisan zaman penjajahan. Pemikiran yang menempatkan profesi sebagai aktivitas bernilai gengsi. Akibat penjajahan pikiran ini, banyak anak muda terjebak pada perilaku mencari pekerjan, bukan menciptakan pekerjaan.Selain tu, masyarakat kita masih memandang jenis pekerjaan atau profesi sebatas urusan ekonomi. Sesuatu dianggap sebagai profesi bila dalam aktivitas profesi tersebut menghasilkan banyak uang. Kalau seseorang berdagang, tapi dalam aktivitas berdagangnya hanya menghasilkan sedikit uang, maka ia menganggap belum memiliki pekerjaan.
Memaksakan cita-cita pada anak adalah tindakan yang kurang bijaksana. Sebab anak memiliki keinginan dan pandangan yang mungkin berbeda dengan orang tua. Mungkin si anak mau memenuhi keinginan orang tua, tapi apakah ada jaminan bahwa si anak tulus menjalankan profesi yang sebetulnya tidak diinginkannya tersebut?Sering kita membaca rubrik konsultasi psikologi di koran, majalah, tabloid tentang anak SMA atau SMK yang salah memilih jurusan. Mereka dipaksa orang tua untuk memilih jurusan yang konon bermasa depan cerah. Karena dipaksa, akhirnya para siswa ini bersekolah asal-asalan. Mereka tidak punya motivasi untuk maju, apalagi mengeksplorasi potensi diri.
Bila kesuksesan dikaitkan dengan kecerdasan anak, maka kita bisa mengacu pada teori komponen kecerdasan yang dikembangkan Howard Gardner. Menurut Gardner, terdapat tujuh komponen kecerdasan pada anak.Pertama, kecerdasan linguistik-verbal, yaitu kemampuan menyusun pikiran dengan jelas melalui berbicara, membaca dan menulis. Kedua, kecerdasan matematis-logis, yaitu kemampuan untuk menangani bilangan, perhitungan, pola, pemikiran logis dan ilmiah.
Ketiga, kecerdasan visual-spasial, yaitu kemampuan untuk melihat dengan tepat gambaran visual dan memperhatikan rincian kecil yang orang lain mungkin tidak memperhatikan. Keempat, kecerdasan rit-mik-muslkal, yaitu kemampuan untuk menyimpan nada dalam benak seseorang untuk mengingat irama itu dan secara emosional terpengaruh oleh musik.
Kelima, kecerdasan kinestetik, yaitu kemampuan membangun hubungan yangpenting antara pikiran dan tubuh. Keenam, kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya (sosialisasi). Ketujuh, kecerdasan intrapersonal, yaitu kemampuan untuk memahami diri sendiri dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Teori di atas menegaskan bahwa pada dasarnya setiap anak adalah cerdas, meski dengan jenis dan takaran kecerdasan yang berbeda. Sebaiknya orang tua mengenal dan memahami kecerdasan yang dimiliki anak-anaknya.Dengan mengetahui kecerdasan anak itu, tanpa harus memaksa, orang tua bisa mengarahkan si anak untuk mengoptimalkan mereka. Dari situ, sukses bisa dicapai tanpa ada pihak yang cedera.
Perlu dipahami bahwa siswa SMA masuk pada tahap perkembangan remaja. Remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa kedewasaan.   Suatu masa yang mempengaruhi perkembangan dalam aspek sosial, emosi, dan fisik. Remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang mengarah pada persiapan memenuhi tuntutan dan peran sebagai orang dewasa. Pada tahap ini, salah satu tugas perkembangan remaja adalah memilih, mempersiapkan diri untuk menjalankan suatu pekerjaan, serta membuat keputusan karir. Pada masa ini yaitu tahap di SMA, siswa-siswi perlu diyakinkan bahwa apa yang dituntut oleh sekolah agar mereka pelajari dengan sungguh-sungguh bertujuan mengembangkan pengetahuan-ketrampilan yang segera dapat mereka terapkan atau gunakan dalam mengahadapi tugas kehidupan sehari-hari, termasuk melanjutkan belajar dijenjang yang lebih tinggi. Sehingga, siswa kemudian memahami keterkaitan antara tuntutan sekolah dengan masa depan mereka. Misalnya, mereka harus mempelajari mata pelajaran matematika karena ada kaitannya dengan kemampuan numerik jika misalnya akan memilih jurusan ekonomi..
Remaja mulai membuat rencana karir dengan eksplorasi dan mencari informasi berkaitan dengan karir yang diminati. Setelah remaja mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal (11 tahun – dewasa) yaitu tahap dimana mereka sudah dapat berpikir secara abstrak. Pada fase ini mereka mengeksplorasi berbagai alternatif ide dan jurusan dalam cara yang sistematis, misalnya jika ingin menjadi dokter maka harus memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Usia remaja dalam teori perkembangan karir Ginzberg  termasuk dalam tahap tentatif yaitu dengan usia 11–17 tahun. Tahapan usia ini adalah masa transisi dari tahap fantasi pada anak-anak menjadi pengambilan keputusan realistik pada remaja. Sejalan dengan perkembangan karir tersebut, proses karir telah muncul pada usia sekolah yaitu ketika anak-anak mulai mengembangkan minatnya dan adanya pemahaman keterkaitan antara kemampuan dengan karir dimasa depan.
Pada anak usia sekolah yaitu sejak sekolah dasar sampai sekolah lanjutan perlu mempelajari keseluruhan ketrampilan yang akan membantu dalam usaha membangun kehidupan masa depan. Karier adalah bagian hidup yang berpengaruh pada kebahagiaan hidup manusia secara keseluruhan. Oleh karenanya ketepatan memilih serta menentukan pilihan karier menjadi titik penting dalam perjalanan hidup manusia.
Besarnya minat remaja terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh minat mereka terhadap pekerjaan. Jika remaja mengharapkan pekerjaan yang menuntut pendidikan yang tinggi maka pendidikan dianggap sebagai batu loncatan. Ketika siswa mampu mengenali pilihan pekerjaan yang diinginkan, maka mereka dapat menjalani pendidikan dengan efektif. Orientasi tentang jenis pekerjaan dimasa depan merupakan faktor penting yang mempengaruhi minat dan kebutuhan remaja yang akan menjalani pendidikan. Jadi, pada dasarnya dunia pendidikan bagi remaja dengan menentukan program pendidikan, fakultas maupun jurusan merupakan pemilihan pendahuluan atau awal dari dunia karir. Ketertarikan siswa terhadap sekolah dan pekerjaan dapat membantu atau memberikan kesempatan untuk mengembangkan minat, sehingga siswa mempunyai pandangan untuk menentukan arah pekerjaan nantinya.
Pilihan ini penting karena mempengaruhi diri siswa terhadap tuntutan pendidikan yang akan dihadapi dan kemungkinan kegagalan maupun keberhasilan dalam jurusan yang dipilihnya. Pilihan pendidikan yang dipersiapkan sejak awal memudahkan siswa dalam menentukan karir masa depannya. Pilihan tersebut diharapkan sesuai dengan minat dan potensi yang dimiliki sehingga proses pendidikan dan pekerjaan dapat berjalan dengan maksimal. Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa pilihan yang dibuat siswa dan terutama sekali pada saat memilih jenjang pendidikan mempunyai hubungan yang sangat kuat atau memberikan dampak jangka panjang dalam perkembangan pendidikan dan karir dikemudian hari.
Perlu dipahami bahwa tidak semua remaja dapat mengambil keputusan dengan mudah dan kebanyakan dari mereka mengalami episode kebingungan sebelum dapat menetapkan jalan karir. Proses eksplorasi karir dan pengambilan keputusan dapat membuat tekanan yang berkelanjutan dalam kehidupan remaja. Reaksi stres memungkinkan remaja memberikan tanggung jawabnya kepada orang lain dan bahkan menunda/ menghindar sehingga membuat keputusan yang tidak optimal.
Creed, Patton, dan Prideaux, (2006) di dalam jurnal penelitiananya mengungkapkan bahwa sebanyak 50 % siswa mengalami kebingungan dalam pengambilan keputusan. Salah satu faktornya adalah begitu banyak pilihan jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan yang tersedia, serta kebutuhan untuk mengetahui nilai-nilai kehidupan serta tujuan apa yang dibutuhkan dalam pilihan karir tersebut. Selain itu, terbatasnya eksplorasi dan pengalaman padarole model karir maka minat dan aspirasi siswa berkaitan dengan bidang karir tertentu sering kali menjadi steriotipe, terbatas, dan tidak tetap/ berubah-ubah. Terbatasnya informasi berbagai pekerjaan yang ada dalam masyarakat tentunya membuat siswa menjadi berpikir atau memilih sesuai apa yang diketahui. Misalnya, dalam keluarga si remaja banyak yang berkerja di bidang kesehatan sehingga ia menemukan banyak informasi tentang pekerjaan tersebut dari berbagai arah dan bisa jadi ia memilih pekerjaan atau jurusan yang tidak jauh berbeda dari latar belakang keluarganya.
Pada saat episode kebingungan ini, orang tua melihat bahwa anak mereka tidak bisa membuat keputusan sehingga kemudian mengambil alih. Padahal yang dibutuhkan adalah pendampingan dan dorongan untuk mengidentifasi kemampuan, minat dan bakatnya dengan tepat. Oleh sebab itu, jika seorang anak yang memilih dan menjalani sebuah pilihan jurusan yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya atau memilih karena adanya paksaan dari pihak luar, misalnya dari orang tua mempunyai dampak negatif. Dampaknya antara lain menjalani studi dengan waktu yang lama atau tidak dapat menyelesaikan kuliah dengan baik (dengan nilai rendah atau pas-pasan).
Kondisi tersebut tentu tidak diharapkan oleh setiap orang tua yang ingin memberikan kebahagiaan pada anaknya. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai jenis pekerjaan-pekerjaan tertentu, dimana setiap pekerjaan  memiliki kekurangan dan kelebihananya. Meskipun dalam kehidupan kita bermasyarakat terdapat pekerjaan yang memberikan prestiseyang tinggi tetapi bukan berarti memilih pekerjaan yang lain adalah sebuah mimpi buruk. Dalam perkembangan karir yang terpenting adalah bagaimana seorang anak mengerti, memahami dan menguasai bidang pilihannya sehingga dapat diaplikasikan dalam pekerjaannya dikemudian hari yang kemudian dapat memberikan kesuksesan tersendiri bagi si anak.

C.     Langkah –langkah penyelesaian.

“haruskah perjuangan ini berhenti sampai disini, sementara orang-orang begitu asyiknya menikmati kehidupan dengan lupa tanggung jawabnya sebagai “manusia” yang hidup di zaman ini.
Apakah gerangan atau bagaimanakah “kebaikan atau keburukan” di definisikan di zaman ini.
Apakah korupsi masih dikatakan haram di zaman Negara yang tak punya proteksi ini. Ataukah sebaliknya ia adalah halal untuk zaman ini.
Nampaknya Indonesia telah digilas zaman”.

Kalimat di atas merupakan motifasi bagi saya dalam menjalani jurusan yang saya jalani saat ini, meskiun jurusan ini merupakan keinginan orang tua yang bertentangan dengan kemapuan saya .
Salah dalam mengambil jurusan merupakan suatu fenomena yang tak bisa saya dihindari. Fenomena demikian banyak pula dialami oleh teman seangkatan saya(angk. 2006 di jurusan PBA) termasuk saya sendiri mengalami hal yang sama.
Menyadari diri adalah sebagai korban(bisa dikatakan begitu) karena kerasnya zaman memengaruhi timbulnya sifat  keegoisan orang tua menyangkut jurusan yang saya kegeluti saat ini, tentu saja tak bisa lari dari sebuah kenyataan.
Banyak  teman-teman seangkatan mengambil sebuah kebijakan  yang begitu berani dengan cara keluar dari institusi pendidikan. Mereka teraksa harus menjadi pengangguran dan adapula yang memilih pindah kekampus lain. Apakah  saya harus seperti itu??
Sedangkan saya sendiri tak memilki banyak uang untuk pindah ke kamus lain. Dan mahu tidak mahu harus tetap menjalankan jurusan yang sekarang. Demi membahagiakan orang tua. Dengan landasan Dogma agama yang begitu menggelimuti memaksa saya untuk tetap pada garis semula.
Untuk tetap bertahan dengan jurusan yang sekarang(pilihan orang tua ) Belakangan saya mulai mencoba merumuskan beberapa jalan keluar agar tetap menjaga semangat saya. Adapun rumasan-rumasan itu antara lain :
a.       Mempelajari ilmu kegagalan
Memelajari kegagalan seseorang, bagi saya akan memberikan sedikit wahana pengetahuan dan motivasi. Menguasai ilmu kegagalan bukan berarti kita harus gagal. Namun dibalik kegagalan,  kata pepatah tersimpan senuah cita-cita yang tertunda.
b.      Buat kalangan orang tua agar anaknya tidak terjebak dalam kesalahan dalam mengambil jurusan, maka perlu pula mempertimbangakan hal-hal berikut ini :
Ø  Mengajak berdiskusi anak mengenai pilihan karirnya dan melakukan eksplorasi. Misalnya mencari tahu jurusan tertentu dengan lapangan pekerjaannya.
Ø  Fasilitasi perkembangan karir sejak dini, yaitu dimulai dengan mengetahui minat dan bakat anak. Sehingga, baik orang tua atau si anak tidak memilih jurusan baru sesaat akan lulus SMA. Jika demikian maka yang terjadi adalah memilih dengan terburu-buru dan kebingungan.
Ø  Mencari tahu potensi si anak untuk mengetahui kemampuan dasar si anak dengan melakukan konsultasi.
Ø  Mengarahkan si anak untuk lebih termotivasi dalam belajar
Ø  Memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada si anak dalam proses pilihan karir tersebut.
c.       Dikalangan mahasiswa yang sudah menjadi korban “salah memilih jurusan”. Maka harus merubah pola pikirnya:
Kalau saat ini kebanyakan orang cara berpikirnya “dari tahap penemuan ke tahap pencitaan” maka pola pikir itu harus dibalik,  kata demikian menjadi “dari tahap penciptaan ke tahap penemuan”.
Kerasnya zaman yang diiringi oleh keinginnan yang semakin bertambah, memaksa kita untuk melaksanakan tindakan “dualism” pekerjaan, walauun ada akhirnya harus menggugurkan orang lain. Jadi tidak perlu khawatir  tentang masa depan, karena systemlah yang telah mencitakan demikian. Dan kita tak perlu dianggab sebagai pelanggar dalam ranah sosial.
d.      Dikalangan institusi pendidian
Mengingat pola pikir pendidikan sekarang berorientasi pada pekerjaan, maka sudah menjadi kewajiban  yaitu Pihak sekolah memfasilitasi kegiataan bagi siswa untuk mempertajam pemahaman mengenai jurusan dan berbagai jenis pekerjaan yang ada, misalnya dengan pameran pendidikan dan sebagainya.




Salam
Terimah kasih