Selasa, 29 November 2011

gu tersayangQ. dimanakah dirimu???

ada org yg diusir dri rumah hanya krn beda warna, ada org yg diputuskan aliran listrik hanya krn beda warna, dan ada pula yg mengelompokkan dirinya hanya krena titelnya.
orng di atas tertawa dan tersenyum lebar melihat pertikaian kita hari ini, sedang kita berhadapan dengan beribu-ribu persoalan yg ri il di tengah medan. kehidupan di gu ibarat kandang/ wadah tempat pertarungan "sabuk ayam".
orang yg tak mau pusing memanfaatkan kekayaan orng tuanya untuk bersenang-senang dan menganggab hidup baik2 saja. ketika ia menyadarinya(kenyataan), iapun sadar bahwa "suatu saat kita akan sendiri-sendiri" juga. untuk tetap mempertahankan hidup tdk ada jalan lain selain memanfaatkan BANK sebagai wadah meminjam uang tuk mencapai dunia pentas birokrasi atau menjadi pekerja di instansi pemerintah.
kalaupn ini adalah sebagai tujuan akhir, gmn nantinya orng2 pengganti kita. tidakkah kita sedikitpun memikirkan generasi sesudah kita???
apa yang hendak dipersembahkan, jk ikan sdh tak mau lagi membuang napas di daratan kita, jika jambu tak mau lagi menebarkan senyumnya jika sdh tb musim, apa yg hendak dikatakan penerus tumbuhan buah-buahan jika ayah dan ibunya tanaman skrg dia belum menikmati kematangan buahnya ia sdh dicuri,>.
apapula yg akan dikatakan sebiji pasir dan tanah wae gu kalau sekarang ia dicampakkan serta ditanami fondasi2 rumah. sedang tanaman yg menjadi hak untuk tempatnya tak diberi kesempatan.
sesungguhnya kawan, dimanakah pahala itu???, 
yang kita lakukan sekarangkah ataukah memang yang dikatakan orang2 bahwa akan dibalas dengan surga. namun bukankah wujud jiwa ini serta bentukannya kedepan tergantung dengan yg kita lakukan sekarang. 
bertanyalah sekali lagi tentang dirimu, kenapa aku ada di bumi, berkembang, dan akulah yg diutus dimuka bumi setelah melewati beberapa seleksi jutaan sperma.
apakah selamanya aku menjadi budak tertawaan birokrasi????. oh sungguh menyedihkan.
tanyalah kembali dirimu kawan, sungguh tak menyenangkan jika :, kos, kampus kos, kemudian bekerja mengikuti alur penguasa bengis, itu yg diceritakan pada anak cucu.
sungguh tak menyenangkan pula menciptakan sesuatu yg sdh ada.

Selasa, 15 November 2011

TULISAN PRIBADI.
OLEH : IHSAN A.

Salam perjuangan
Kepada YTH seluruh kawan-kawan seperjuangan mendo GU
Para tokoh masyarakat
Kepada semesta masyarakat mendo GU

Pembahasan I

Zaman ini banyak dikalangan manusia khususnya mendo GU mengalami kepincangan sejarah. Banyak pula dikalangan “pelajar” tidak memahami “arti penting” dari setiap teori-teori dunia yang lahir.banyak pula kalangan menganggab yang terkenal dilembaran zaman, itulah yang berhak memimpin dunia. Hingga tidak menengok lagi sosok-sosok manusia yang seperti “Nabi khaidir  as”. Masih adakah sosok seperti itu???
Pergeseran zaman yang diiringi dengan pergeseran budaya akhirnya telah membawa kita untuk memahami “pengetahuan”hanya sebatas dirinya (individualistiknya), bukan pada objektifitas pengetahuan itu sendiri.anggapan ini, pastilah yang mempelajari berbagai teori-teori dunia yang ada, mengira adalah kaum sofis. Keterjebakan alam pikiran kita ke dalam sebuah teori-teori yang ada membuat manusia (umumnya kita sebagai mendo GU) di zaman ini menjadi bingung untuk memutuskan sebuah konsep “yang nyata”, hanya mampu menangkap “sesuatu” serta dijadikan landasan hidup yang dianggab probabel. Namun pada dasarnya tidak serasional dengan konteks kehidupan kita di Gu. Hingga zaman ini [1]sudah selayaknya untuk dikatakan “zaman tidak rasional”.
Sebab zaman rasional hanya aka ada dan serta lahir kepermukaan jika pada komunitas  dimana Kita sebagai generasi mampu membawanya dalam situasi atau kelompok masyarakat yang nyata yang benar-benar telah matang memahami arah perkembangan, dan tentu ke arah perkembangan menuju kepada kepentingan bersama.
Salah satu yang menjadi titik fokus kita sekarang untuk bagaimana mengarahkan pandangan kita kepada kalangan sarjanan-sarjana notebenenya adalah kalangan yang ber-titel[2] yang menjangkiti GU sekarang. Pada dasarnya komunitas ini hadir untuk memberi pencerahan terhadap individu-individu yang tidak memahami arah perkembangan (kehilangan jejak sejarah). Namun belakangan di GU, komunitas masyarakat bertitel ini menjadi perbincangan hangat serta menarik untuk dieksplor lebih jauh.
Maka Sewajarnya kita mencoba meneropong lebih dekat bagaimana kehidupan mereka. Sebab informasi-informasi diketahui bahwasanya mereka sedikit demi sedikit telah merubah cara tatanan hidupnya, dalam artian melenceng dari apa yang sebenarnya diharapkan.

Saya mengakui, komunitas masyarakat ber-titel dalam artian PNS[3] memiliki kode etik tersendiri. Dan sudah selayaknyalah mereka bergerak dibawah panji-panji kode etik yang ada. Kenyataan di lapangan, berdasarkan informasi yang diterima, para komunitas PNS di GU mulai terjebak pada hedonism dan melupakan kode etiknya sebagai PNS.  Dikarenakan Mereka terjebak pada situasi “hegemoni prestice” yang menggorogoti dikalangan komunitas PNS.
Inilah sebuah kesalahan terbesar dalam sejarah kita. Tugas mereka sebagai pengarah dan sekaligus pendidik hanya sebatas lingkungan “formal” hingga diluar lingkungan “non formal” tugas mereka diabaikan begitu saja.
Dosa terbesarpun harus diakui, sebab cagut marutnya kalangan mendo GU tidak lepas dari pada, pada setingan global yang sengaja membatasi ruang gerak kita hingga mereka (masyarakat PNS) merasa apa yang mereka lakukan adalah sebuah “kebaikan”, mereka sama sekali tak menyadarinya. Padahal jauh kita mengeksplor kebelakang hingga pada akhirnya menyadari, sistem global ikut memainkan peran dibalik cagur marutnya komunitas masyarakat PNS ini yang berefek kepada masyarakat biasa. Sistem-sistem yang ditawarkan kalangan bertitel ini sangat berpengaruh dikalangan peserta didiknya dan realitaslah yg menjawab bahwasanya peserta didiknya tidak memahami apa yang dikatakan gurunya malahan itu dianggab sebatas prasyarat untuk mendapatkan ijazah hingga mendapatkan pekerjaan.
Namun pekerjaan yang tersulit dari apa yang telah mereka lakukan adalah “kita” sebagai generasi mesti mengatur ulang. Dalam artian mewajibkan harus mundur kebelakang sejenak (bukan dalam arti kembali mendesain kehidupan sekaranng seperti bentuk dahulu. Sebab ini mustahil).
Disinilah letak “titik”dari pada kebobrokan sebagaian komunitas pegawai-pegawai negeri kita di GU. Kedakmauan memahami sistem perkembangan dunia serta tak mampu memahi ketidakpunyaan Negara dalam hal “kedaulatan”,  hingga menyerebet sampai kepada individu-individu pegawai negeri yang lain.
Mengingat pula di gu kalangan PNS semakin hari semakin memenuhi GU dengan tanpa disadarinya terjebak pada situasi percaturan politik dunia. Kerancuan yang dialami komunitas ini, mendorong mereka untuk memasang tameng tersendiri dalam kehidupannya dan secara tidak langsung ikut membentuk sebuah komunitas yang baru (membentuk stratifikasi sosial tersendiri). Serta mau tak mau Kehadiran mereka yang semakin memadati GU, memberikan efek yang menimbulkan kecemburuan sosial tersendiri(akibat perbuatan serta cerminan yang mereka perlihatkan di masyarakat). bagaimana tidak, mereka selalu pandai menutu nutupi kenyataan yang ada.

Sikap khas sebagian kalangan para PNS di GU selalu memandang enteng masyarakat biasa. Hingga masyarakat biasa terjebak pada sebuah “kesalahan berpikir”[4]  di masa depannya. Komunitas masyarakat biasa tentu tidak menerima perlakuan yang dipamerkan kalangan PNS ini. Lantas yang mereka lakukan adalah memaksa anaknya untuk ikut pula larut kedalam komunitas mereka. Satuhal yang tak disadari sebelumnya oleh kalangan masyarakat biasa, bahwa untuk menjadi PNS perlu jenjang pendidikan tertentu dengan biaya yang mahal. Jalan satu-satunya yang dilakukan kalangan biasa adalah dengan menjual tanah, meminjam di kerabat, meminjam di koperasi, dsb. Hal demikian dilakukan agar masyarakat biasa memiliki “tameng” dihadapan para komunitas PNS, yang selalu menganggab remeh mereka (dalam hal ini menafikkan pekerjaan yang lainnya, dianggab tidak keren dan memalukan).
Sedikit lebih maju dan sebagai tambahan, Banyaknya kalangan-kalangan mudah yang lahir,  merasa sadar bahwasanya untuk menjadi PNS tidak serta merta harus lulus dari jenjang S1 begitu saja, tapi mereka harus diseleksi pula mengingat komunitas dari masyarakat lain memahami yang sama. Banyaknya komunitas calon PNS mendorong pula untuk tidak diluluskan semua calon-calon ini. Pada akhirnya calon-calon ini menumpuk dalam masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan “kesalahan berpikir” dalam menentukan masa depan para komunitas masyarakat di GU, dalam pandangan saya.

Inilah Awal mula penyebab kerisuhan serta desintegrasi dalam masyarakat mulai Nampak di GU, di zaman ini. Sebenarnya penyebab desintegrasi timbul tidak terlepas dari dalangi oleh sebagian kalangan PNS yang tak mampu membuka atau menyambut dalam menentukan kehidupan yang baru.  Arus yang begitu laju memaksa generasi untuk tarut hanyut serta terjebak dalam kehidupan yang didesain ini.  
Tentu, apa yang mejadi cita-cita politik dunia”untuk menghancurkan sebuah bangsa tidak perlu dengan perang amunisi, namun hilangkan ingatan sejarah generasi mudahnya[5]” kini telah tercapai di GU. Para generasi mendo gu benar-benar kehilangan sejarah, maksud serta tujuan keberadaan mereka lahir di muka bumi (di GU) mereka lupa akan hal itu. Mereka benar-benar terikut arus zaman yang ganas.
Titik “kritikan”yang menjadi penekanan saya sebenarnya bukan pada “PNS”itu, namun individu-individu yang mengenakan title PNS.
Disisi lain, ketidakmampuan orang tua(masyarakat biasa) membiayai anaknya untuk menuntut ilmu mau tak mau Terpaksa memaksa anaknya untuk menyelesaikan kuliahnya dengan cepat tanpa memberikan kebebasan anaknya untuk menentukan tujuan hidup. Ini sesungguhnya sangat berpengaruh dalam mencegah seorang anak untuk mengembangkan kreativitasnya. Dan seorang anak harus memutar dan membanting kemudi (membanting stir)agar pikirannya bisa sejalan dengan keinginan orang tua (menjadi PNS).
Melihat situasi di gu yang cagut marut di era ini, beberapa bihak mengambil peran dengan jalan memainkan situasi di atas. Diantaranya adalah kalangan birokrasi setempat. Kalangan yang sekaligus birokrasi pemerintah ini tentu melihat ada semacam “lahan basah”di tengah-tengah situasi yang dialami mendo GU. Merekapun mulai menyusun serta memainkan peranan-nya. Diantaranya dengan mendirikan sebuah institusi dengan alasan ingin mewujudkan keinginan masarakat biasa ini. Salah satu cara adalah dengan mendirikan institusi pendidikan. Saya ingin memperjelas kepada anda semua, bahwa institusi pendidikan yang mereka dirikan pada dasarnya dibangun bukan atas dasar “Benar-benar memanusiakan manusia/benar-benar mendidik generasi”untuk bagaimana menghadapi masa depannya,  melainkan kaum birokrasi ini mendirikan institusi pendidikan lahir dari sebuah gejolak masyarakat biasa yang punya tekat untuk menjadikan anaknya PNS. Alas an mendasar : sekali lagi, bukankah ini semua lahir akibat prilaku  generasi PNS yang selalu menghina serta memasang tameng yang rapat kepada masyarakat biasa , hingga masyarakat biasa terjebak sebuah “kesalahan berpikir”??.asumsi masyarakat biasa kurang lebih seperti ini : “malu kalau generasiku(anakku)tidak menyandang gelar akademis, sebab kami akan selalu ditindas serta dihina bahkan tidak dipercaya ”.inilah  bukti kongkrit dari kegeraman serta sekaligus kegerahan masyarakat biasa.
Lantas, wajarlah saja kaum birokrasi memanfaatkan situasi dengan mendirikan institusi pendidikan secepatnya, sebab momen meyakinkan bahwa akan ada “lahan basah/bernilai ekonomis” dibalik kegerahan warga. Kemudian dibukalah jurusan-jurusan yang menjanjikan masyarakat biasa agar anaknya bisa menjadi PNS, ini berhasil dengan gemilang. karna tiap tahunnya masyarakat biasa memasukkan anaknya di lembaga institusi pendidikan yang didirikan kalangan birokrasi.  Tidak perduli seberapa besar biaya. Asalkan, cita-cita orang tua dikalangan masyarakat biasa ini bisa tercapai.
Dikalangan masyarakat biasa,  Tahun demi tahun  melahirkan generasi-generasi PNS dan hampir di sudut-sudut wilayah GU. Yang anehnya, semakin menumpuknya masyarakat PNS ini membuat berhenti bekerja atau berhenti memperhatikan sector-sektor kehidupan yang lainnya. Mereka sudah cukup puas dengam gaji yang diterima perbulan.
Disisi lain, kalangan penyandang title yang belum mendapat gelar PNS menumpuk dikalangan masyarakat biasa. Mereka ternyata baru menyadari, bahwa institusi pendidikan dengan biaya yang sangat mahal tidak serta merta menjadi PNS begitu saja. Hingga dikenallah “pengangguran yang bertitel”.
Para generasi masyarakat biasa yang bertitel ini tidak pernah tahu menahu. Bahwa institusi itu hadir sebagai “lahan basah”kaum birokrasi yang memainkan perannya dibalik keresahan orangtua mereka. Merekapun lalu menyadari bahwa hadirnya institusi pendidikan di tengah-tengah situasi mereka sungguh hadir bukan maksud mencerdaskan serta merubah/menjadikan mereka PNS. Namun kehadirannya dikarenakan adanya pembacaan kaum birokrasi melihat “lahan basah”tadi. Mereka baru menyadari, setelah lulus dari bangku kuliah maka institusi pendidikan akan melempar mereka begitu saja di realitas hidup.
Satu hal yang tak pernah dibaca oleh komunitas masyarakat biasa tentang liciknya institusi pendidikan yang didirikan para birokrasi ini, yaitu : untuk melihat bentuk penindasannya, kita cukup melihat jurusan-jurusan yang mereka buka tanpa melihat kebutuhan masyarakat GU yang semakin berkembang arah kedepannya. Institusi pendidikan yang didirikan hanya membuka 1 atau 2 jurusan semata. Banyaknya komunitas masyarakat biasa yang memiliki bakat, mau tidak mau mereka harus memasukkan anaknya dijurusan tersebut walaupun bertentangan dengan bakat yang dimiliki anaknya. Mereka harus mendapatkan title, mereka tetap saja berlomba-lomba, mereka tidak pernah memikirkan arah kedepepannya.mereka pikir inilah sebuah takdir dan harus diterima. Asalkan mereka meraih title akademik. Ini semua dilakukan untuk menghilangkan penghinaan  kelompok masyarakat PNS. inilah sebuah kecerobohan, sebuah keinginan yang kuat namun hasil yang sia-sia.sebab, niatnya adalah menjadi PNS.padahal tidak selamanya itu menjamin, sebab bakat belum terbentuk di tahap ini.
Makin hari para lulusan akademisi ini bertumbuk di GU, ketika ada penerimaan CPNS mereka berlomba-lomba untuk memasukkan berkasnya. Para birokrasi pemerintah daerah, lagi-lagi melihat situasi ini sebagai “lahan basah”. Merekapun memainkan perannya dengan lihai.
Banyak cara yang dilakukan orang orang tua masyarakat biasa untuk bisa meloloskan anaknya agar menjadi pegawai negeri.  bahkan yang lebih tragis lagi adalah sampai berani menyogok kalangan birokrasi. Inilah yang saya maksudkan sebagai “lahan basah”.melihat demikian, maka kalangan birokrasi makin ke enakan dengan tindakan yang dilakukan masyarakat biasa. Sampai-sampai CPNS itu tidak lagi menjadi sebagai seleksi untuk mencari pegawai-pegawai yang professional dalam membantu pemerintah. Melainkan siapa yang miliki bantingan uang banyak maka dialah yang berhak menjadi PNS. Entahlah ide dari mana yang didapatkan kalangan masyarakat biasa ini. Sekarang telah menjadi sebuah tradisi ketika ada CPNS. Sekarang  bahkan sudah terang-terangan dikenal masyarakat luas walaupun pada hakikatnya bentuk-bentuk seperti ini dilarang oleh pemerintah pusat lebih-lebih dalam agama.
Apa yang dilakukan yaitu”perselingkuhan kalangan birokrasi dan masyarakat biasa” sebenarnya tidak patut pula untuk disalahkan dengan mengacu situasi yang ada. Sebab mereka pun pada  Dasarnya terkena efek daripada kondisi yang lahir dari kenyataan. Wajarlah tidak bisa pula dipungkiri ini semua. Kondisilah yang mendorong mereka(kalangan birokrasi) untuk menetapkan “panjar yang mencekik” setiap momen CPNS. Sebab PNS adalah jalan praktis kehidupan. Suatu cara untuk menjamin kehidupan yang nyaman untuk menata hidup. PNS memiliki masa depan yang cerah dan tak perlu takut mati kelaparan karna pemerintah meng-gaji tiap bulan kepada setiap pegawai negri. Selain mendapat gaji, para PNS pun ketika memasuki usia tua mereka mendapat tunjangan/gaji pensiunan meskipun mereka telah meninggal namun generasinya yang bisa menkmati itu semua.

Inilah ketertarikan kaum masyarakat biasa sekaligus pula menjadikan sebagian para pegawai negri untuk tampil sombong dihadapan realitas kehidupan di gu. jadi wajarlah, para orang-orang tua dari kalangan biasa sebisa mungkin mereka lakukan buat anaknya agar menjadi PNS.
Hingga harus pula diakui, “sogok menyogok”dalam konteks ini tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang haram apalagi dikaitkan dalam konteks agama, sebab sogok menyogok dalam kondisi ini warga malah menerimnya dan itu dianggab sebagai sesuatu yang “fair”.sungguh sama sekali harus diperjelas, mana “sogok menyogok”dalam konteks di dunia nyata di gu dengan “sogor  menyogok” dalam tinjauan agama.

Pada sisi agama, mendo GU terbentur oleh dua aliran besar dalam agama. Yaitu aliran agama yang bernuansa ketimuran(aliran kiri maupun kanan) dan bernuansa tradisional. kedua aliran ini saling membentur hingga melahirkan satu generasi baru. Ajaran agama yang tradisional berasal dari nenek moyang yang masih dipertahankan. Dan nuansa agama ketimuran berasal dari dunia timur, yang dibawa oleh salah seorang individu masyarakat lokal itu sendiri karena sepulangnya ia dari dunia timur.
Timbulnya benturan dua aliran besar ini kemudian menjadikan agama yang berbau ketimuran hampir melingkupi seluruh sisih kehidupan di GU.  Lambat laun ajaran ini menciptakan sebuah mazhab tersendiri, sebab ada semacam dogma yang dilontarkan oleh pembawa ajaran pertama SANGAT menekankan kepada mayoritas masyarakat untuk tidak mengakui kebenaran yang lain. Sebab hanya ajarannyalah yang dianggab paling baik. Inilah cikal bakal dari timbulnya suatu aliran.
Ketika para pembawa ajaran yang pertama telah tiada. Ajaranya terus dipertahankan dikalangan mayoritas di gu. Kemudian adapula yang mencoba memperdalam pengetahuan tentang ajaran yang diterima Dengan jalan memasuki kehidupan-kehidupan ala ketimuran di negri seberang. Sekembalinya mereka dari negeri seberang merekapun mencoba menerapkan ajaran yang sudah dianutnya. Namun mereka membawa pula hal-hal yang baru, namun pastinya hal-hal yang baru itu berbau ketimuran. Hal yang menjadi kebaruan yang mereka bawa serta mereka terapkan adalah sedikit berbeda. Kalau pembawa ajaran ketimuran dahulu mencerminkan “moral yang teraplikasi”. Namun para generasi membawa ajaran agama dengan ciri khas “moral yang teoritis”. Ditambah lagi ada sedikit tambahan nama pada nama mereka yaitu “titel”. Gelar itu daraih dari salah satu tempat mereka menimba ilmu setelah beberapa tahun mereka dibina, setelah dianggab cakap maka mereka diberi sedikit tambahan nama dibelakang.
Sebenarnya, adanya gelar ini bukanlah menjadi sebuah persoalan. Yang menjadi persoalannya adalah individu yang menyandang “titel” itu. Sebab ternyata title pun ikut mempengaruhi stratifikasi sosial jika individu yang menyandang gelar itu tak memahami maksud serta tanggung jawab yang diemban oleh penyandangnya, apalagi title yang mereka raih bernuansa keagamaan. tentunya morallah menjadi cerminan “keberagamaan” seseorang ketika bergabung dalam masyarakat.
Dikalangan masyarakat GU sendiri sangat menghormati ketika seseorang mendapat sebuah gelar apalagi bernuansa keagamaan.
Sesungguhnya, pergeseran penghormatan atau orang yang dihormati  di gu lambat laun beralih. Sebagian masyarakat biasa yang menyandang gelar yang bernuansa tradisional kini mulai kehilangan warnanya. Lambat laun gelar itu ditinggalkan dan kemudian disetarakan dengan komunitas masyarakat biasa. Salah satu titik kelemahan dalam masyarakat mendo GU, mereka begitu saja menerima mentah-mentah hal-hal “kebaruan”. Mereka tidak mengadakan penyaringan terdahulu dalam kehidupan mereka. Ketika ada sesuatu hal yang baru mereka langsung saja meninggalkan ajaran-ajaran tradisionalnya tanpa mengambil sedikitpun dari ajaran yang lalu. Banyaknya komunitas masyarakat di gu yang menghormati (secara berlebihan) kepada para generasi-generasi penyandang title ini.  Merekapun semakin “berbesar kepala” lantas bebas mengatur dan mengarahkan masyarakat mendo GU. Sekali lagi : komunitas masyarakat mendo gu tidak memerdulikan perubahan-perubahan yang ditawarkan kalangan generasi-generasi penyandang title ini. Pastinya, perubahan selalu mereka nanti bagaimanapun bentuknya agar tidak terlihat tertinggal dengan daerah-daerah tetangganya.
Melihat masyarakat yang semakin hari semakin membanggakan individu yang bertitel ini; komunitas masyarakat biasapun ikut-ikutan untuk mendapatkan title yang sama agar bias sederajat dengan mereka, dan dihargai dalam masyarakat.
Pikiran para komunitas mesyarakat biasa benar-benar telah terobsesi. Hegemoni komunitas masyarakat pegawai telah meracuni pikiran mereka. Bahkan mereka sangat memperhatikan setiap gerak gerik yang mereka lakukan setiap harinya. Mulai dari berangkat ke kantor dengan menggunakan pakaian dinas, bersih, ditambah menggunakan kendaraan yang sebelumnya tak dimiliki kalangan masyarakat biasa, mereka mendapat gaji tiap bulan dari pemerintah, dll. hingga timbul dibenak mereka bahwa menjadi PNS adalah pekerjaan yang menyenangkan dan bisa menjamin kelangsungan kehidupan tanpa bekerja lebih keras seperti apa yang mereka kerjakan saat ini(sebagai petani dan melaut).
`     Masyarakat biasa benar-benar sangat ambisius ingin menjadikan anaknya sebagai generasi seperti mereka. Dan hal ini dibuktikan oleh sebagaian kalangan masyarakat biasa. Semakin tahun jumlah pegawai negri sipil di gu semakin menumpuk. Dan dengan sendirinya masyarakat biasa ini ada semakin menempati sisi mayoritas dan minoritas. Lalu masyarakat pns ini terbentuk menjadi sebuah mayoritas yang baru dalam masyarakat GU.

Ciri-ciri yang paling mendasar pada sebagian komunitas masyarakat PNS di GU adalah sebagai berikut:
1.       Mereka cenderung untuk menutup diri (individualistis)dengan komunitas masyarakat biasa, disebabkan title yang disandangnya.
2.       Mereka cenderung  menghina komunitas masyarakat biasa (non PNS)
3.       Gaya hidup yang tinggi dan praktis
4.       Selalu ingin dipandang mewah.

Marilah kita membahas satu persatu ciri khas masyarakat PNS di GU di atas, yang kemudian akan mengantarkan kita  memahami perkembangan masyarakat wae GU yaitu masyarakat modern ala GU.

1.       Mereka cenderung untuk menutup diri (individual) dengan komunitas masyarakat biasa(non-PNS), karena title yang disandangnya.

Wae(di) GU, tentu “Titel” merupakan sesuatu yang penting di tengah-tengah komunitas masyarakat. Pada zaman-zaman sebelumnya, pemberian title memang sudah ada dan jika ada seseorang yang menyandang salah satu gelar(titel) dalam masyarakat, mereka benar-benar sangat dihormati. Kenapa bisa begitu? Karena dahulu title/gelar dalam masyarakat tidak semudah begitu saja diperoleh. Individu-individu dalam masyarakat harus memainkan perannya yang unik serta kreatif dalam komunitas masyarakat. Dahulu,  title yang disandang sejalan dengan prilaku orang yang menyandangnya. Maka untuk mendapatkan gelar dalam masyarakat (jika ingin dihormati) punya verifikasi khusus yang mewajibkan seseorang untuk dihormati dalam masyarakat di GU.  Dengan melihat itu, maka menjadi wajarlah mereka dihormati dan dihargai. Harus pula diakui bahwasanya gu dahulu hidup hidup berkelompok-kelompok namun bedanya mereka tidak individualistis mereka tetap saja saling menghargai sesama kelompok yang ada(tidak menutup rapat kelompoknya). Mereka sangat menyadari pada dasarnya mereka hidup dalam satu rumpun, memiliki dasar, visi serta misi yang sama dan saling membutuhkan.
Lain halnya dengan sebagian komunitas PNS di gu sekarang. Cerminan yang mereka ciptakan lambat laun mencerminkan sifat yang individualistis, dan membabi buta. Mereka benar-benar menutup rapat  tata cara pergaulan mereka. Mereka hanya senang dan melayani dengan baik jika pada tatanan komunitas yang sesame mereka. Lahirnya komunitas PNS masyarakat di GU, mendorong sebagian dari mereka untuk condong menganggab dirinya yang terbaik, sebagai babak baru untuk menunjukkan inilah sejatinya kehidupan di GU. Tidak jarang kita temukan seringkali mereka menghina masyarakat biasa di depan umum. Perlakuan mereka terhadap masyarakat biasa sungguh-sungguh sangat tidak humanis dan melanggar etika dalam bermasyarakat. Sekali lagi aku ingin katakan: hal demikian dilakukannya, karena mereka menganggab diri yang terbaik serta terpelajar dibanding komunitas masyarakat biasa.
Kejadian nyata pernah ada salah seorang pemuda(dari kalangan masyarakat biasa) mengeluarkan aspirasinya mengkritik habis perlakuan masyarakat PNS. Tiba-tiba datang seorang dari kalangan PNS memukulinya serta meng kata-katainya dengan perkataan yang tak manusiawi. Disaat itu ia berada persis di tengah-tengah komunitas masyarakat, ia sangat merasa malu karena habis dipukulin babak belur. Karena tak tahan tiap hari dihina serta dikucilkan oleh komunitas masyarakat PNS iapun meninggalkan tanah GU dan sampai sekarang tak pernah kembali. Disinilah letak kekejaman yang dicerminkan oleh sebagian komunitas PNS mendo GU.
Selain itu juga, dalam memperingati hari-hari besar islam, misalkan lebaran. Banyak kalangan PNS merasa gengsi untuk bertamu di rumah-rumah para warga yang non PNS meskipun itu adalah saudaranya sendiri  . mereka berpikir  tak selayaknya mereka harus datang bersilaturahmi. Mereka malah membaliknya, semestinya merekalah yang harus datang bertamu dan membungkuk dihadapan kami. Jadi bisa disimpulkan bahwa sebagian komunitas masyarakat PNS memiliki Ego yang tinggi terhadap masyarakat kalangan biasa.
Inilah kenyataannya, sesungguhnya “title” yang disandang komunitas PNS wae GU memiliki efek serta ciri khas yang besar dalam masyarakat. Hingga menjadi sangat wajar komunitas masyarakat biasa seolah terasing dengan tanah kelahirannya sendiri. Mereka seolah olah merasakan bahwa mereka adalah pendatang. Rasa kebersamaan dalam sebuah komunitas masyarakat yang besar kini telah sirnah akibat hegemoni idiologi komunitas masyarakat PNS yang semakin menjamuri GU. Komunitas masyarakat biasa, terasa asing sendiri ketika mereka berbicara maupun berdialog dengan kalangan PNS. Meskipun yang diajak dialog adalah sepupu mereka sendiri yang sudah meraih gelar PNS ini. Tameng yang diciptakan dalam masyarakat benar-benar tertutup rapat.

2.       Mereka cenderung menghina masyarakat tradisional (non pns)
Sedikit saya memaparkan sebagai kelanjutan sebelumnya. Penghinaan bentuk lain yang tak mampu terbaca dipermukaan adalah penghinaan dalam hal memandang enteng/remeh tingkat keilmuan masyarakat biasa(non PNS).
Inilah salah satu kelemahan yang dimiliki komunitas masyarakat PNS. Penghinaan ini saya istilahkan dengan “bayang-bayang surga”.  Istilah demikian  sebagai dasar untuk melancarkan atau menghaluskan argument-argumen sesat sebagian dari kalangan PNS. Mereka seringkali membungkus argumennya dengan seruan-seruan moral, seruan-seruan agama, bahkan seruan-seruan sebagai pendidik.
Inilah salah satu kelebihan yang mereka miliki dengan memanfaatkan title yang disandangnya, dan hal ini tak mampu dimiliki oleh komunitas masyarakat biasa. Mereka sangat pandai memanfaatkan situasi serta memposisikan diri mereka. Kita sangat mengenal bahwa kalau orang gu sering melihat seseorang sering ke masjid dan berceramah. Maka tidak tanggung-tanggung langsung di cap sebagai seorang yang baik. Tak perduli prilaku mereka dalam masyarakat. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh kalangan PNS, meskipun pada dasarnya mereka adalah biang keladi pembuat onar dalam masyarakat, tapi karena sering ke masjid maka mereka tidak pernah disinggung sekalipun sebagai pembuat onar, malahan lagi-lagi masyarakat biasalah yang menjadi kambing hitam.
Saya tegaskan!!!!, apapun bentuk-bentuk seruan moral ataupun seruan-seruan semacamnya yang dilontarkan kalangan PNS  di dalamnya tidak selamanya adalah benar, terkadang didalam ucapannya mengandung racun yang membunuh kreatifitas kalangan masyarakat biasa. Sudah waktunya, kita mesti membaca dengan baik apa yang dilontarkan kalangan PNS. Yang mesti dicerna adalah, apa yang telah mereka tunjukkan di realitas. Bukan terletak pada argument.


3.       Gaya hidup yang tinggi serta praktis.
Kalangan masyarakat PNS menyadari bahwa dibalik argument-rrgumen yang mereka lontarkan mengandung “lahan basah”. Semakin banyak argument yang mereka lontarkan dalam masyarakat semakin banyak keuntungan(berupa uang) yang mereka dapat. Mereka dengan leluasa mengobral bahasa-bahasa yang indah. Karna banyaknya keuntungan yang mereka dapat, hingga cenderung untuk mengubah cara hidup kearah yang serba praktis. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana kalangan masyarakat biasa yang hidup berdampingan dengan mereka.
Selain mereka mengobral argument di masyarakat kemudian menghasilkan uang, merekapun tentunya mendapatkan gaji tiap bulan dari pemerintah. Jadi dua keuntungan ganda yang mereka terima. Gaya hidup yang serba praktis mendorong kepada peralihan corak produksi masyarakat kalangan biasa. Karena pekerjaan yang dilakukan sehari-hari oleh kalangan biasa sangat melelahkan disbanding kalangan PNS yang serba mudah untuk mendapatkan hasil. Kalangan orang tua-orang tua masyarakat biasa terus memaksa anaknya untuk menjadi atau bisa seperti mereka dan menghilangkan penghinaan yang terus dilontarkan kalangan mereka. Kita ketahui bersama, jenis pekerjaan masyarakat biasa adalah berkebun dan melaut. Untuk bertani, mereka harus mendaki gunung yang tinggi serta melewati hutan dibelantara. Begitupun halnya dengan pelaut, mereka harus pergi sore, terkadang pulang jam sebelas malam terkadang juga mereka harus bermalam semalaman di laut. Tak perduli seberapa dinginnya hawa  di tengah lautan asalkan keluarga bisa meneruskan kehidupan. Ini dilakukan hampir  tiap hari selama sepekan.
Apa yang telah digambarkan kelompok masyarakat PNS yang hidupnya serba praktis, mendorong masyarakat kalangan biasa sedikit demi sedikit telah meninggalkan pekerjaan pokoknya yaitu berkebun dan nelayan. Artinya segala aktivitas sector lain telah ditinggalkan. Mereka lebih memilih meninggalkan lahan perkebunannya bahkan sampai menjual tanah garapan dan perahunya demi membiayai anaknya sekolah/ kuliah. Mereka melakukan nya hanya untuk menjadikan anaknya senagai PNS dan tidak ingin direndahkan terus menerus.

4.       Selalu ingin dipandang mewah
Salah satu hal, yang mendorong minat kalangan masyarakat biasa untuk tetap bersihkeras mendorong anaknya untuk menjadi PNS yaitu suatu perubahan yang mereka pertontonkan yang membuat termehek-mehek  kalangan masyarakat biasa yaitu kalangan PNS yang semakin hari mereka berlomba-lomba membangun pemukiman yang megah. Belakangan ini kalangan pegawai negeri sipil selalu mempertontonkan kehebatan yang mereka miliki(maksud saya harta kekayaan). Bukan Cuma ingin mempertontonkan dikalangan masyarakat biasa, namun sesame kalangan pegawai juga. Jika pegawai guru SD membangun rumah susun, maka pegawai guru SLTP juga ikut-ikutan meminjam uang di bank demi memiliki dan menyaingi rumah setingkatnya. Begitupun halnya kalangan pegawai guru-guru SLTA, pegawai kantoran, pegawai kesehatan dan lain sebagainya. Pokoknya mereka satu sama lain tak mau disaingi atau tak mau merasa tersangi. Mereka telah sedikit menambah corak kehidupan mereka, yang tadinya hidup serba praktis kini tanpa disadari arah mereka bertambah menjadi penganut paham “pembangunanisme”.
Melihat kenyataan hari ini, masyarakat kalangan biasa hanya Cuma pandai menyaksikan apa yang mereka kerjakan,. Mereka telah kehilangan posisi untuk menatap masa depan mereka. Mereka terus gerah, gerah, dan gerah dalam hati. Hingga sampailah pada sebuah kesimpulan kami sekarang hidup ditengan-tengah masyarakat sebagai golongan yang“terlupakan”.

Apa yang telah diperlihatkan masyarakat kalangan pNS, benar-benar telah membuka pikiran dan perasaan sebagian generasi. Generasi yang sadar telah memberitakan bahwasanya kita harus berubah, kita telah kehilangan arah, pertarungan sejati telah terlupakan. Yang ada malah kita memelihara musuh dalam ketidaksadaran kita. Kita mesti bangkit, kita tidak ingin selalu hidup seperti demikian, kami perlu alternative cara hidup yang lebih baik. Generasi yang sedang-sedang saja, menanggapi lain tentang apa yang dilakukan kalangan pns ini, mereka menilai apa yang telah dilakukan kalangan pns tidaklah berefek apa-apa buat kehidupan kami. Kamipun menganggabnya hal demikian adalah hal yang tidak menggagu aktifitas kami untuk bebas. Sementara itu kalangan generasi terbiasa beranggapan malas tahu dengan apa yang dilakuakn atau dipertontonkan oleh kalangan PNS saat ini.
Zaman masyarakat  mendo gu semakin hari bergerak mengikuti kehendak perlakuan masyarakatnya. Kalau terdahulu kontradiksi nya adalah pertarungan antara kalangan masyarakat biasa dan kalangan PNS, namun seiring perkembangan zaman kontradiksipun telah berubah. Perkembangan serta perpecahan dikalangan PNS kini telah dimulai. Inilah kekawatiran saya sebelumnya, mereka pada awalnya begitu solit, dikarenakan perkembangan zaman mereka semakin lupa diri menkmati alur kehidupannya. Kini mereka malah terdorong untuk saling memamerkan harta kekayaan, saling menjatuhkan sesama mereka. Kehancuran yang terjadi mendorong masyarakat gu terkotak-kotak, dalam artian mereka cenderung mempertahankan egonya masing-masing. Dan kini kita bisa lihat di gu, kehidupan disana bagaikan tak memiliki pondasi. Terbentuknya kotak-kotak dalam masyarakat di gu, mereka malah menciptakan sebuah komunitas modern ala mereka. Marilah kita simak bagaimanakah bentuk masyarakat modern ala pns ini.
*      Masyarakat modern ala PNS.
Masyarakat modern ala PNS adalah salah satu bentuk  kehidupan yang lahir akibat pertentangan yang ditimbulkan oleh kalangan PNS itu sendiri, yang mengakibatkan mereka terkotak-kotak dan sudah tidak adalagi kalangan yang dihormati.
Dalam fase masyarakat ini mendo gu saling mencurigai satu sama lain. Dikalangan pegawai sendiri tidak sesolit dahulu lagi. Mereka lebih membanggakan apa yang mereka telah raih, sebepa besar yang meraka hasilkan dari pekerjaannya. Dengan hidup yang serba praktis, membuat mereka benar-benar lupa hidup bermasyarakat. Mereka sangat percaya dengan kemampuan yang mereka miliki sendiri. Merekapun sangat yakin dengan title yang mereka agung-agungkan bisa meneruskan kehidupannya kelak. Jadi hubungan mereka dalam masyarakat benar-benar saling menutup tameng diantara mereka. Dalam fase masyarakat ini mendo gu hanya akan melakukan transaksi sosial ketika mereka hendak menjalankan tugas dikantoran, berbelanja di pasar, dsb.
Karna masing- masing telah menutup diri, maka mereka semakin sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan kantoran sampai mereka pun lupa dengan esensi pekerjaan yang mereka kerjakan di kantor. Tidak lain apa yang mereka kerjakan semata-mata untuk memperoleh uang. Mereka tidak pernah menyadari “nilai sosial” dari apa yang mereka kerjakan.
Di satu sisi, bukan pula dikalangan PNS yang menjalani kehidupan seperti demikian. Melainkan pula  turut dicampuri yang lahir dalam masyarakat yang bukan kalangan pegawai tapi kalangan pedagang yang mencoba mau mematahkan kesombangan yang dilakukan dikalangan pegawai. Apa yang mereka pertontonkan dalam masyarakat malah lebih tajam serta sadis lagi. Para kalangan ini sering memamerkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh kalangan pegawai dan kalangan pegawaipun tak mampu membeli barang seperti yang dibeli oleh kalangan pedagang ini. Para  kalangan kalangan pedagang ini hadir dari perantau-perantau yang telah sukses diperantauannya. Mereka dahulu sengaja pergi hanya untuk menghindari berbagai cemoohan yang dilakukan kalangan PNS.
Mereka beranggapan kalau kalangan PNS bisa bikin rumah sayapun bisa halnya demikian. Mereka mengawali hidup baru di gu karena dendam. Dendam inilah yang membuat ego dikalangan mereka. Kalangan pedagang tidak membentuk sebuah komunitas masyarakat seperti yang dilakukan oleh kalangan PNS sebelumnya tapi mereka tetap mempertahankan hidup yang berkotak-kotak.
Masyarakat modern ala PNS bukan sesadis apa yang telah dipikirkan sebelumnya. Disini memang ada interaksi sosial. Interaksi sosial yang dimunculkan dalam bentuk pujian dan penghambaan. Siapa yang terkaya maka dialah yang dihormati. Inilah cirri masyarakat zaman ini.
Hingga banyak aspek yang terjebak dalam kerangka demikian. Agama, sosial,dan budaya. Semua terbungkus dalam “bungkusan” siapa yang kaya maka dialah yang dihormati. Para kalangan pemuda yang menuntut ilmu, juga telah digeregoti niat mereka melanjutkan sekolah. Mereka menjalani kuliah hanya sebatas profesi agar bias menadapatkan uang sebanyak-banyaknya dan bis bertahan hidup dalam masyarakat.
Pada fase masyarakat ini mendo gu saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka tidak ingin melihat seseorang jaya. Kalau mereka merasa mampu untuk dijatuhkan, maka dengan secepat mungkin mereka lakukan dengan berbagai cara hingga nantinya orang yang dijatuhkan bisa jatuh.
Dalam hal pengusaan tatanan sistem pemerintahan, di zaman ini mendo gu lebih banyak diatur atau didesain oleh kalangan luar. Hingga mendo gu sulit menemukan satu kekuatan ataupun sulit menyatukan persepsi dikalangan mereka. Tambahan, Dilain pihak dikalangan para pedagang yang  hadir karena kekecewaan ini mampu mengendalikan sistem pemerintahan daerah dengan memegang kendali massa karena merasa punya uang. Disinilah letak ketidak berdayaan masyarakat yang pegawai. Mereka sedikit demi sedikit telah kehilangan derajat kedudukan dalam masyarakat. Kini kedudukan yang dihormati dalam masyarakat bukan karena title dan berhubungan dengannya, melainkan pemilik harta kekayaan.

Kita harus mengakui kehebatan para pedagang. Mereka dengan cepatnya menguasai sendi-sendi kehidupan yang ada. Malahan dalam berbagai kebijakan politik sekalipun. Yang tadinya kalangan pegawailah yang memainkan, kini tidak perlu dari kalangan mereka namun kalangan yang miliki partner serta jaringan yang terkuatlah yang berhak mengatur itu semua, terutama para otak-otak pedagang sakit hati. Mereka pula berhasil membangun berbagai pemukiman-pemukiman yang megah yang tak dipikirkan sebelumnya. Desain desain yang mereka tawarkan sangatlah spektakuler dan kontemporer. Mereka benar-benar meyakini probabilitas daerah hanya dengan demikian.

Di zaman ini sekali lagi aku ingatkan, kontrak sosial bukan berarti hilang. Melainkan kontrak sosial yang mereka lakukan benar-benar tela di desain oleh luar. Mendo GU benar-benar tak menyadarinya. Mereka tak mengetahui politik pemerintah pusat melalui pemerintah daerah hingga telah membuat mereka begitu. Dan sangat buruk lagi apa yang sesungguhnya terjadi dig u benar-benar desain dari “ekonomi politik”pemerintah kita yang bersifat golongan.
Ditengah-tengah cagut marutnya kehidupan di GU. Sungguh sangat terasa sampai pada komunitas mendo GU diluar daerah. Mereka seolah-olah tidak percaya dengan situasi sosial yang terjadi gu. Mereka yang tadinya rindu akan kampong halaman terpaksa membetahkan diri di negeri orang. Mereka merasa nyaman dengan kehidupan disana. Mereka pula beranggapan bahwa kehidupan diluar jauh lebih menyenangkan darpiada dig u. namun tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang sadar akan kekcauan di GU. Sebelum-sebelumnya memang harus diakui bahwasanya banyak kalngan-kalangan pemuda mahasiswa mendo GU yang mudah terbawa araus. Namun  tidak pada diri saya sendiri(selaku penulis) serta beberapa kerabat teman mahasiswa mendo GU di kendari. Kami segera menyusun strategi dasar untuk melihat kenyataan dig u dalam sisi yang lain, dengan harapan bias menyatukan persepsi dan menata ulang kehidupan disana.












PEMBAHASAN              II
Pertemuan 15 menit di kapal pelni.
Dihari itu  saya tak sengaja bertemu dengan seorang teman yang sekaligus ia adalah sepupu saya sendiri, namanya sarifuddin. Ia adalah salah seorang aktifis mudah sebagai penggerak teman-teman mahasiswa di kendari mendo GU. Saya sangat terkejut dengan keberadaannya di atas kapal, sebab kapal yang saya tumpangi akan menuju  Makassar. Saya langsung menegurnya, iapun kaget dengan kehadiran saya.
Kami langsung berbincang tentang situasi generasi mendo GU. Kami langsung membahas  suatu wacana yang “kontroversial”. Wacana controversial yang sengaja ku lempar di dinding facebook Mendo GU yang menyangkut kehidupan remajanya. Harus diakui, bahwasanya pasca pelihan bupati buton yang baru saja berlangsung menghasilkan berbagai isu-isu yang  menyebabkan disentegrasi kalangan masyarakat. Mereka malah semakin bingung untuk menentukan masa depan mereka. Benturan budaya yang semakin mem “bom” masa depan kalangan pemuda, membuat lingkaran “setan ampuh” hidup dengan subur di tengah-tengah kehidupan mereka.
Di awal pagi pertemuan kami di kapal, menghasilkan sebuah kesepakatan untuk bagaimana merumuskan cita-cita masa depan masyarakat mendo GU yang semakin memanas. Hari iini kami sangat berniat mewujudkan cita-cita dengan tindakan awal adalah menyatukan mahasiswa mendo gu yang kuliah di Makassar dengan mahasiswa mendo gu yang kuliah di kendari.
Tak bisa dipungkiri bahwasanya kebanyakan mahasiswa mendo gu yang di luar daerah telah sekian banyak tertelan oleh pengaruh-pengaruh budaya luar yang tak mampu mereka saring. Kalangan teman-teman mahasiswa Makassar maupun di kendari, kini banyak dari mereka telah terjebak pada sebuah lingjaran setan akibat hegemoni kapitalisme[6]internasional yang semakin halus merasuki kehidupan mereka.
Setiap tahunnya mereka para mahasiswa mendo gu yang melanjutkan studinya diluar selalu dihadirkan dengan berbagai situasi yang baru, berhubung kebanyakan mereka “kaget” dengan situasi kebaruan, membuat mereka tak mampu menyadari keterjebakan mereka dipanggung kehancuran masa depannya. Dan yang lebih parahnya, kalangan mahasiswa mendo GU yang melanjutkan studinya diluar, membawa budaya yang baru untuk kemudian membenturkannya dengan budaya di GU yang hampir punah.
Mengingat bentuk-bentuk budaya yang riil [7]di gu telah hamper  musnah tinggal namanya saja, maka mau tak mau budaya yang kebaruan diterima begitu saja tanpa memikirkan efek yang ditimbulkannya.

Kawan-kawanku sekalian sebangsa dan setanah air sebagai bangsa yang kuat yaitu bangsa mendo gu. Hari ini kita hampir saja memutuskan perjalanan masa depan daerah kita. Kalaupun para terpelajar saat ini yang sedang menikmati hidup ditengah-tengah penderitaan. Boleh jadi kemungkinan besar mereka tak menyadari arti sebenar-benarnya tentang penindasan hari ini. Mereka sebagai harapan sekaligus sebagai pembuka awal untuk generasi pelajar selanjutnya “harus dikatakan” mereka telah mencoreng “generasi pelajajar” sesudahnya. Mereka yang seharusnya sebagai pembuka pintu yang kemudian akan membimbing masa depan generasinya malah menjadikan generasi “pelajar” sebagai generasi pekerja. Pesan-pesan ilmu yakni menjadikan manusia sebagai orang yang ber- intelektual propetik kini telah hilang  seiring perjalanan waktu, padahal di dalamnya menyipan sesuatu yang sesuai dengan ajaran kemanusiaan kita.
Arah yang tak menentu ini terpaksa harus digantikan oleh cara hidup yang baru. Yang memahami dan yang tak memahami.
Saya memegang erat-erat pergelangan syarifuddin untuk kemudian mulai hari itu akan membentuk sebuah gebrakan baru. Cukup sudah permainan zaman yang timpang terjadi dig u. sudah saatnya kita menatap hidup baru, mari kita potong generasi yang ambruk ini dengan sebuah generasi yang baru. Cukup!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!.

Tiga fase  kehidupan  yang melanda mendo gu saat ini.

Corak kehidupan yang lagi mengganas dig u dapat di golongkan atas tiga bagian : pertama, kemampuan menguasai tekhnologi, lembaga-lembaga, kultur.
a.       Kemampuan menguasai teknologi
Paham liberalism telah mengajarkan kita untuk bagaimana bertindak secara individualis dengan menafikkan budaya gotong royong mendo GU. Cara hidup mendo gu yang kini semakin praktis mempengaruhi pula individu-individu yang lain untuk melakukan cara yang praktis pula. Cara pikir mendo gu saat ini telah memetakan pola kehidupan yang serba berbau teknologi. Cara ini berasal dari institusi pendidikan yang sebelumnya mereka belajar disana. Mendo gu tak pernah sekalipun menyadari bahwasanya institusi pendidikan kita kini telak terjebak oleh percaturan kapitalistik global yang hanya menjadikan atau mencetak mereka menjadi manusia-manusia pekerja. Institusi pendidikan Indonesia telah kehilangan institusinya sehingga desain-desainnya penuh dengan aturan-aturan kepentingan global yang hanya meraup untung belaka.
Kita menyadari bahwasanya Indonesia khususnya gu kini telah memulai tahapan kehidupan barunya dengan kehidupan serba teknologi. Jadi wajar saja ketika ada mendo gu yang kehilangan “hanphone” pasti akan kehilangan akal untuk melakukan sebuah pekerjaan.
Hadirnya teknologi, Tak bisa dipungkiri bahwasanya teknologi telah membawa masyarakat mendo gu banyak mengalami kemajuan akhir-akhir ini. Di gu kini banyak ditemukan barang-barang elektronik yang sebelumnya tak pernah ada. Dengan adanya teknologi kemudian dapat membantu pekerjaan mereka dengan cepat. Kalau dulu mendo gu sering berjalan kaki ke kebun dengan cara naik turun bukit Yng terjal, dengan tenaga yang serba terkuras. Kini dengan bantuan teknologi mereka bisa melakukan dengan cepat serta tenaga yang tidak terlalu terkuras. Para nelayan yang sering melaut dikegelapan malam, dengan bantuan teknologi mereka dapat mempercepat perjalanan mereka dan untuk mendapatkan ikan sudah tak membutuhkan waktu yang lama.
Di rumah-rumah kini banyak ditemukan berbagai jenis elektronik sebagai bentuk teknologi yang menghibur  mereka dikala suntuk serta mudah mengetahui berbgai informasi di berbagai penjuru daerah yang ada di indonesia. Mendo  gu dahulunya, untuk bersekolah saja mereka harus melewati berbagai pegunungan dengan hutan yang menyelimuti dilaluinya dengan berjalan kaki sepanjang 30-50 KM kini dengan adanya teknologi bisa dijangkau hanya dalam waktu beberapa menit saja. Begitulah kehidupan dig u sekarang.
Banyaknya barang-barang teknologi yang ada dig u, mendorong mereka berusaha sekuat mungkin mengubah keterampilan yang mereka miliki sesuai dengan keadaan zaman. Yang namanya zaman teknologi tidak selamanya barang-barang teknologi itu bertahan. Dia membutuhkan ahli mekanis untuk memperbaiki jika saja ada barang-barang teknologi yang rusak, jika barang-barang teknologi ini tidak segera diperbaiki maka aktivitas masyarakat akan sedikit terhambat dan bisa-bisa menghasilkan sebuah konflik pendek dikalangan mereka. Baik itu konflik dalam diri maupun kontak sesame individu yang lainnya.
Untuk bisa menghadirkan ahli-ahli mekanis, maka didirikanlah institusi-institusi pendidikan yang bernuansa teknologi. Namun jangan dibilang institusi-institusi ini ada untuk menghasilkan barang teknologi yang baru, Kehadiran mereka hanya sebatas pada “cara merakit”saja.
Pendidikan adalah mengajarkan kepada generasi-generasi baru tentang cara, penemuan atau peradaban orang-orang terdahulu untuk kemudian dipertahankan serta diimplementasikan[8]. Zaman telah terlanjur membumi dimasyarakat mendo gu. Zaman inilah yang akan selalu berlangsung dig u. hari ini sampai seterusnya. Zaman teknologi inilah yang akan menjadi konsumsi cikal bakal masyarakay mendo gu. Harus diingatkan, Zaman teknologi tidaklah murni hadir didalam masyarakat mendo gu. Ia hadir dari adanya unsur budaya luar yang  menerobos masuk serta dianggab bisa memecahkan “kebuntuan” yang terjadi di dalam masyarakat mendo gu. Maka jangan heran di gu jarang sekali ditemukan aktifitas-aktifitas tanpa adanya teknologi. Mereka benar-benar telah terjerumus kedalam kehidupan era baru, yakni era teknologi.
Pola pikir masyarakat mendo gu telah benar-benar “diseting”oleh kebijakan “tangan-tangan tak terlihat[9]”. Hingga menolak mentah-mentah pengetahuan-pengetahuan alaminya. Pengetahuan-pengetahuan murnianya terpaksa harus ditinggalkan, kecuali hanya beberapa orang saja yang masih mempertahankannya itupun mereka benar-benar dikucilkan dan tak pernah diperhitungkan dalam masyarakat.
Pola-pola produksi masyarakat mendo gu yang tadinya adalah dengan menggunakan pengolahan dengan “bentuk” pengetahuan alami tidak sempat dikembangkan lebih maju harus terpaksa dibuang serta ditinggalkan begitu saja. Para generasi kemudian diajarkan untuk bagaimana menguasai alat-alat teknologi[10] agar bisa meneruskan sisi-sisi kehidupan yang ada dalam masyarakat mendo gu. Sisi-sisi Kehidupan itu menyangkut pengobatan, pertahanan, kelautan, pertanian dll. Semua sisi-sisi kehidupan yang bersifat tradisional[11] tidak lagi dipercaya sebab itu dianggab mistis dan tidak membawa pada solusi kehidupan bagi masyarakat mendo gu.
Pola-pola masyarakat mendo gu yang serba teknologi membawa efek serta gaya tersendiri kepada generasi medo gu saat ini. Maka tak heran kebanyakan kalangan mahasiswa cenderung hanya sebatas mempelajari apa yang telah ditetapkan oleh institusi kampus. Ditambah lagi, saat ini banyak kalangan mendo gu yang telah meraih gelar sarjana serta menjadi prestise dalam masyarakat. Dengan kemampuaanya memainkan alat-alat teknologi yang ada. Mereka dapat diterima serta dipekerjakan di instansi-instansi pemerintah yang menyediakan layanan bagi mesyarakat. Mereka yang telah memiliki keahlian memainkan teknologi digaji oleh instansi pemerintah yang dipercaya bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut hidup orang banyak.

b.       Lembaga-lembaga.
Lembaga-lembaga pemerintah yang ada dig u, semacam perkantoran dsb. Dianggab membantu masyarakat mengatasi aktifitas-aktifitas masyarakat yang masih terbelakang. Didalam instansi-instansi pemerintah bekerjalah orang-orang yang memiliki keahlian tekhnologi  agar membantu kesulitan-kesulitan yang tarjadi dalam masyarakat. Lembaga-lembaga ini didirikan oleh pemerintah pusat untuk dijalankan oleh bawahan[12] agar mengontrol prilaku masyarakat.
Lembaga-lembaga ini menyediakan berbagai alat-alat teknologi untuk meningkatkan produksi masyarakat serta mengatur  sistem pembagian pola produksi masyarakat. Lembaga-lembaga ini didirikan sesuai bentuk kebutuhan masyarakat mulai dari tahap dasar sampai pola tingkat teknisi.
Untuk tingkat dasar, pemerintah daerah menyediakan lembaga-lembaga sekolah  mulai dari tahap SD sampai tahap PERKULIAHAN.  pada tahap SD, Untuk mengarahkan pemikiran peserta didik agar terfokus serta sejalan dengan kemajuan teknologi, maka pemerintah pusat atas arahan kapitalisme internasional mendesian kurikulumnya sesuai dengan dasar-dasar  mengenal teknhnologi serta kemajuan modern serta manfaatnya dengan mengesampinhkan efeknya dalam perkembangan teknologi. Khusus di sekolah-sekolah dasar yang bernuansa religius , kemampuan-kemampuan teknologi didesain sedemikian rupa pemikiran peserta didiknya dengan “bumbu-bumbu[13] religious agar terkesan sesuai dengan perintah dan amanat tuhan.
Untuk mempermudah menjebak para generasi, pemerintah mengratiskan semua bentuk-bentuk pembayaran ketika masuk di istitusi pendidikan, seperti SLTP dan SLTA kecuali perguruan tinggi, karena pemerintah saat ini telah melepaskan tanggung jawabnya kepada kelmabaga perguruan tinggi sebab kapitalisme internasional melihat adanya “lahan basah[14]”dalam perguruan tinggi.
Selanjutnya untuk memperjelas rencana kepitalisme internasional melalui pemerintah pusat kemudian daerak untuk menjadikan kultur masyarakat Indonesia khususnya mendo GU menjadi masyarakat konsumerisme teknologi bisa dilacak pelan-pelan seperti diuraikan berikut ini.
Ketika peserta didik melanjutkan pendidikan ketahap lebih tinggi yakni SLTP[15]. Para peserta didik diarahkan untuk bagaimana mengenal bahan-bahan tekhnologi yang dalam hal ini berbau ilmu-ilmu alam yang bernuansa ilmu pasti.  Para siswa yang memiliki bakat diluar “ilmu-ilmu pasti[16]” dianggab tidak memiliki  tingkat kecerdasan atau dianggab paling bodoh di sekolahnya. Mengapa demikian??? Karena memang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh  “tangan-tangan tak telihat”. Tak jarang kita bisa menemukan siswa yang tak mampu memahami ilmu-ilmu pasti dicerca serta dianggab remeh oleh pihak sekolah. Mereka tak diberdayakan. Kecuali yang mereka(siswa)yang menguasai ilmu-ilmu pasti yang dianggab paling pintar serta dipuji oleh kalangan guru di sekolah. Kalau hari ini banyak dikalangan para intelektual selalu berkata bahwa tidak ada bentuk diskriminasi demikian,  namun pada kenyataannya kalau kita menengok pada realita, diskriminasi benar-benar terjadi dikalangan siswa SLTP.
Ketika peserta didik bertambah tingkat pendidikannya[17], maka peserta didik diwajibkan untuk memilih salah satu dari dua jurusan yang disediakan oleh pihak sekolah, yakni IPA atau IPS. Kalaupun ada sebuah instansi yang didirikan oleh pihak swasta namun mendapat izin dari pemerintah, pastinya pula harus mengikuti aturan yang ada. Hebatnya lagi, meskipun banyak dikalangan siswa memilih IPS[18], yang pastinya pemerintah pusat mengatur kurikulunya sejalan dengan mengarahkan peserta untuk menjadi pekerja. Lagi-lagi para peserta didik diarahkan dengan jelas tujuan atau cita-cita mereka. “tangan-tangan tak terlihat”begitu hebat memainkan peran dalam institusi pendidikan kita. Mereka benar-benar sangat memahami bahwasanya kalangan SLTP dan SLTA merupakan masa-masa bimbingan yang belum bahkan takut menentukan masa depan.
Disaat peserta didik melnjutkan pendidikannya keperguruan tinggi, banyak pula para generasi mereka lebih-lebih tak mampu menentukan(dalam hal ini takut mengatakan bahwa AKU ada AKU)sesuatu. Sebab, dikepala mereka telah tertanam : Aku harus menjadi PNS, aku harus bekerja, aku harus cepat-cepat menyeleisakan kuliah secepatnya agar bisa bekerja, aku harus menguasai bidang teknologi tertentu agar bisa jadi PNS, dsb.
Namun tidak semua kalangan mahasiswa(pelajar) demikian, ada beberapa orang yang bisa dihitung jari[19] sadar akan sistem penindasan itu.
Dengan cara demikian, para peserta didik(generasi) kebanyakan tak menyadari perjalanan hidup mereka akan dijadikan sebagai pekerja serta pecandu teknologi. Padahal kalau kita menyadari sungguh-sungguh, seperti yang telah diungkapkan “zaman tekhnologi”yang kita hidup sekarang bukanlah lahir dari kemampuan alami kita yang kemudian dikembangkan agar kita mampu mengetahui dasar dari menentukan fase kehidupan selanjutnya. Kita kehilangan dasar untuk menentukan pilihan masa depan. Kita dipaksa dengan zaman yang sama sekali tak tahu “dasar”dari keberadaan kita di zaman yang disodorkan sekarang. Kita hanya bisa mengikut hanya bisa mengemis dan hanya mampu mengakui kehebatan orang luar namun kita sama sekali tek mengenalnya.

Hanya Dengan cara ini pemerintah memperhalus kekejamannya. Kalaupun kita berusaha untuk bagaimana merombak sistem yang ada, maka akan melahirkan sebuah bencana yang besar. Kalau anda sebagai mendo GU berusaha melakukan berkata yan bersifat kebaruan dan bertentangan dengan di atas, maka anda akan dianggab orang gila dan tak diperdulikan.

Untuk lebih mensukseskan sistem kapitalisme internasional di Indonesia khususnya di gu, maka pemerintah pusat melalui pemerintah daerah melalui lembaga-lembaga yang telah dipersiapkan sebelumnya setiap tahun membuka lowongan kerja dengan maksud mengangkat kalangan sarjana yang memiliki keahlian dibidang teknologi untuk kemudian diangkat sebagai “pegawai negeri sipil”. Bagi jurusan-jurusan yang non keguruan mereka langsung dihadapkan dengan pekerjaan-pekerjaan tekhnisi, yang mana barang-barang / mesin-mesin tekhnisi yang ada telah memang disediakan olek kalangan  kapitalistik internasional, para sarjana yang diterima ini kemudian digaji dengan gaji yang tinggi yang notobenenya pikiran serta tenaganya digunakan untuk menguras sumber daya alam, khususnya di buton saat ini.  Ketika sumberdaya alam telah terkuras, maka pekerjaan telah terhenti, kalaupun alat tekhnisinya itu ditinggal begitu saja ditempat maka kalangan ilmuan kita hanya akan mampu menatapnya begitu saja. Para ilmuan kita takkan mampu mengembangkannya bahkan menciptakan sesuatu yang baru melebihi kehebatan mesin yang ada. Para ilmuan kita hanya mampu merakit. Itupun alat-alatnya kita masih saja ketergantungan dengan  diluar. Kemampuan kita hanyalah mampu merakit dengan cara membeli alat-alat dari luar. Namun kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru tidak mungkin. Sebab sekali lagi. Zaman teknologi yang di paksa masuk di Indonesia khususnya dig u adalah zaman yang tak memiliki dasar bagi mendo gu. Mereka hampa,merka tak tahu menahu masalah zaman teknologi, kita akan selalu ketergantungan.maka akan tetap selamanya mendo gu seperti ini sampai hingga pada akhirnya ada yang mampu mengubah serta menyadari kemampuan alami yang memiliki dasar dan mengembangkannya dengan cara serta memiliki dasar tersendiri.
Sebagai tambahan, lembaga-lembaga instansi pemerintah yang bernuansa keguruan. Selalu setip tahunnya merekrut para sarjana untuk kemudian dijadikan pegawai negeri sipil. Harus diingat, bahwasanya menjadi guru PNS dig u aadalah hal yang paling dihormati dikalangan mendo gu. Maka tak heran, untuk menjadi PNS mendo gu melakukan berbagai cara untuk bisa menjadi PNS.
Menciptakan guru untuk menjadi PNS di Indonesia tidak akan mungkin dihentikan. Sebab, jika dihentikan maka akan menjadi masalah besar dikalangan kapitalistik internasional. Penyebab langgengnya kapitalisme internasional, serta adanya lahan basah di institusi pendidikan, tentu peran PNS di lembaga-lembaga pendidikan memiliki nilai lebih. Merekalah yang menciptakan serta memperkenalkan  awal generasi-generasi untuk menjadi manusia mesin,. Sebab kalangan guru PNS ini turut “membantu[20]”arus lancarnya untuk tetap mempertahankan lahan-lahan basah kapitalisme internasional yang membumi di Indonesia khususnya di gu, dengan menciptakan sistem-sistem atau aturan-aturan yang keras  di dalam institusi sekolah, membuat para siswa tak berkutik apa-apa. Maka jangan heran kalangan guru-guru PNS saat ini diberi berbagai gaji serta tunjangan yang tiba-tiba bisa kaya mendadak. 
Peristiwa-peristiwa di atas sesungguhnya secara tak langsung telah membawa kepada bentuk kultur budaya yang baru bagi mendo gu. Kekejaman yang mereka ciptakan secara halus sampai memasuki budaya-budaya sacral yang seharusnya tak wajar tuk dilibatkan[21]. Selanjutnya marilah kita mencoba untuk membahas serta memaparkan budaya kultur mendo gu saat ini.

c.       Kultur .
Kultur menjadi cirri khas adanya atau keberadaan suatu daerah. Kultur merupakan salah satu yang menjadi pengakuan diterimanya sesuatu itu memiliki corak budaya suatu masyarakat. Mendo gu, semenjak dahulu kala memiliki kultur budaya yang sangat kaya. Ini diakui dari beberapa daerah yang ada disekitarnya yang mengakui kultur budaya mendo gu yang sangat alamiah dan memiliki nilai-nilai filosofis.
Jika anda berjalan-jalan kearah timur dengan sedikit melewati beberapa  curah gunung-gunung kecil maka anda mendapati sebuah keraton tua bekas peninggalan mendo gu DIbeberapa puluhtahun silam. Konon menurut cerita dari para tetua yang masih memegang dan tahu persis cerita kehidupan disana mengatakan tempat itu dahulu menjadi pusat perekonomian serta seni budaya dari beberapa daerah-daerah yang berada disekitar GU.
Sebelum anda mencapai puncak “kraton[22]”, akan ada suatu tempat peristrahatan. Peristrahatan itu adalah sebuah batu yang begitu tipis serta unik. Tempat itu selalu dijdikan tempat untuk menarik serta memperbaiki napas yang terengah-rengah dalam mendaki gunung. Selain tempatnya sejuk,  kita akan langsung berhadapan dengan angin serbuan dari barat., rasa kelelahan akan segera hilang dalam hitungan detik. Di tempat itu pula kita bisa melihat pulau-pulau disekeliling kampung mulai dari titik barat sampai titik-titik daerah yang berada disebelah timur.
Sedikit melanjutkan perjalanan kita akan sampai disebuah tempat yang dinamakan “LIWU”. Di dalam terdiri dari beberapa kuburan tua orang-orang terdahulu, di situpula terdapat berbagai kulit-kulit kerang dan berbagai jenis tanaman lainnya. Keadaan struktur tanah di liwu sangatlah subur memungkinkan masyarakat dahulu untuk bisa bertahan dan mengembangkan budaya-budaya masyarakat. Di “LIWU” terdapat bekas tempat berdirinya masjid kraton yang menjadi pusat derahnya. Namun sangat disayangkan, masjid tua itu telah dirobohkan oleh kalangan penduduk[23], tinggal satu senapan meriam besi yang tersimpan di tengah-tengah benteng bekas berdirinya masjid kraton.
Apa yang terdapat di liwu sesungguhnya bisa menjadi dasar kuat kita untuk mengatakan bahwa: mendo gu memiliki kultur alami yang mampu dikembangkan secara mandiri serta mampu disesuaikan dengan zaman. Saya sangat yakin, masyarakat mendo gu terdahulu memiliki cara serta pengetahuan mandiri serta berdaulat untuk bagaimana menciptakan fase-fase kehidupan masyarakatnya. Masyarakat mendo gu terdahulu, dengan melihat bukti-bukti peninggalannya tidaklah mempelajari pengetahuan yang sudah ada melainkan mereka selalu berusaha mempelajari pengetahuan yang sifatnya kebaruan, ini didorong dan bahkan sebagai bukti adanya usahan mendo gu asli[24] untuk mendirikan berbagai ukiran-ukiran benteng yang berliku-liku melingkupi seluruh daerah liwu itu sendiri. Bukti kongkrit inilah bisa dikatakan bagian dari unsure-unsur kultur yang mencirikan bahwa masyarakat mendo gu tidaklah seperti masyarakat-masyarakat yang lainnya. Masyarakat mendo gu memiliki individu-individu yang cerdas. Dan mereka sangat paham betul tentang perkembangan zaman dan aspek-aspek persiapan untuk menyambut zaman yang baru itu.
Setelah beberapa puluh tahun berlalu, kita sebagai generasi penerus mendo gu terdahulu.dihadapkan dengan sebuah pertarungan hebat antara paham ajaran dunia ketimuran dan dunia belahan barat. Tentu belahan barat yang diwakili oleh amerika serikat yang menganggab diri sebagai Negara penguasa dunia, mencoba menawarkan solusi kepada Negara-negara berkembang untuk bisa setara dengan pola kehidupan masyarakat mereka, salah satunya adalah Negara kita yakni Indonesia.  Apa yang  terjadi dig u saat bukanlah murni dari kalangan masyarakat yang menciptakan konflik,  ini sesungguhnya adalah hasil politik pecah bela “tangan-tangan tak terlihat” yang tak senang melihat adanya perubahan serta memiliki kedaulatan daerah kita. Kultur kehidupan yang coba mereka tawarkan melalui hegemoni bedaya teknologi mereka dengan bisikan-bisikan solusi dalam mencapai hidup. Tanpa disadari kini komunitas masyarakat mendo gu cenderung menampakkan kultur budaya individual. Bentuk-bentuk solidaritas yang menjadi salah satu cirri kultur mendo gu mulai ditinggalkan. Kultur individualistic meracuni masyarakat mendo gu semenjak mereka menerima dengan penuh kultur budaya teknologi tanpa memaknai makna atau esensi darpada adanya teknologi. Fase kultur perkembangan mendo gu terputus tak tersisa. Mereka langsung menjerumuskan dirinya kedalam kehidupan yang serba teknologi tanpa tahu sedikitpun makna dibalik itu. Masyarakat mendo gu saat ini lebih senang mengumpulkan kekayaan dalam bentuk uang maupun mengoleksi barang-barang teknologi. Bentuk-bentuk kultur kini telah dinilai berdasarkan harta kekayaan. Dengan prinsip “jika ingin dihormati”harus memiliki banyak uang, tanpa memikirkan unsure-unsur yang lainnya. Pokoknya, uang telah menjadi kultur masyarakat mendo gu karena dengan adanya uang mereka bisa menentukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Adanya uang bisa mendorong individu agar sebisa mungkin menghindari yang namanya “tolong menolong”. Mereka berusaha sebisa mungkin menghadirkan sebuah alat teknologi yang bisa membuat hidup mereka untuk tidak tergantung pada orang lain. Dengan harapan bahwa dengan hadirnya teknologi kita tak lagi merepotkan orang lain.
Begitulah konteks masyarakat mendo gu saat ini. Kultur budaya teknologi telah tertanam dengan rapi dalam kehidupan masyarakat kita. Zaman teknologi yang selalu menjadikan kita tergantung kepada Negara-negara industri, mau tidak mau kita harus menerima itu. Namun jangan sampai kultur budaya yang melanda mendo gu saat ini kita tak mampu mengatasinya. Jangan sampai kita selalu tergantung seumur hidup dengan apa yang mereka buat. Sekiranya kita sebagai intelektual, mari terus berpikir sebab jika kita memang mengakui sebagai mahluk bertuhan maka akan sadar dengan konteks kita hari ini,. Situsi mendo gu hari ini yang semakin individualistic serta rentan dengan konflik internal. Mendorong  untuk menentukan posisi kita secepat mungkin, sebelum kematian menghampiri kita.  Persoalan kita yang melanda mendo gu hari ini bukanlah karena kebodohan, kemalasan serta keinginan masyarakat mendo gu secara alamiah. Mereka telah didesain atau diatur sedemikian rupa. Persoalan kita hari adalah persoalan ketidak mampuanpuan dikalangan para pemuda sebagai generasi yang tak mahu berpikir serta melihat dengan jernih tentang situasi yang ada. Masyarakat mendo gu sama sekali belum memahami arti penting daripada kehidupan bernegara. Pikiran serta tindakannhya masih saja melokalitas. Padahal konflik yang terjadi dig u tidakkan bisa diselesaikan dari tinjauan lokalitas sahaja. Mau tak mau kita harus mencoba menyentuh sisi atau wilayah nasional. Dan kalau perlu meng-global. Mari kita saatnya memahami arti penting dari bernegara. Kita adalah generasi-generasi mendo gu yang berdarah Indonesia.
                        Dan……………………
Kemana gerangan arah yang dituju gerak cepat kemajuan yang dibikin manusia dengan kecanggungan metafisis yang masih belum bisa selesai bahkan dengan proyek sejarah yang dimulai sejak zaman Pencerahan? Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan garis yang memisahkan atau menghubungkan Sosialisme dan Kapitalisme? Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia.
Bagaimana kalau urutannya kita balik, bukan sosialisme dan kapitalisme yang menjadi batas pilihan-pilihan gerak sejarah tetapi sejarah yang memberi batas untuk kapitalisme dan sosialisme?
Kalau dilakukan dengan tepat, artinya tidak dengan begitu saja menegasi hal ihwal sebelum dibalik dan dilakukan sebatas penyertaan-pertimbangan, dari pembalikan itu kita bisa melihat bahwa (ternyata) dunia sedemikian luas dan manusia sudah begitu kaya.
Lalu, untuk siapa dunia luas itu; untuk manusia atau untuk kekayaannya? Mereka yang menjawab dengan pilihan kedua saat ini tengah berusaha merangkum sejarah dengan menggabungkan keuntungan kapitalisme dan cita-cita sosialisme. Golongan yang memilih jawaban pertama masih terus bertanya-tanya, adakah guna akal budi manusia selain melampaui-menguasai dunia?[25]
Sebagai penutup, untuk sekedar menhilhami semangat kawan-kawan. Saya akan mencoba memaparkan sebuah tulisan untuk bagaimana kita  ‘sebagai mendo gu’ bisa menentukan arah dan mampu memainkan peran disetiap percaturan dunia. Apakah kita akan selamanya menjadi dadu-dadu yang digoncang gancing oleh orang –orang tangan tak terlihat ??

Mari kita cermati bersama :

SEJARAH DAN FIKIRAN YANG BERTINDAK[26]

Alienasi Rakyat Indonesia akibat pemahaman tentang praksis sejarah pembebasan yang tidak memberi jawaban akan prosessing rakyat sebagai entitas aktif perubahan merupakan anak-pinak legitimasi penghisapan imperialisme-kolonialisme atas segenap potensi rakyat. Keadaan bertambah parah ketika munculnya imperialis baru dari kalangan pribumi yang terus mengasah diri bersama penjajah untuk sebuah derajat yang lebih tinggi di tengah-tengah kaumnya; tak bisa disangkal bahwa kebutuhan sekolah pada masa awal kebangkitan nasional adalah semata-mata kebutuhan derajat dan pangkat yang lebih terhormat di hadapan rakyat dan kaum penjajah yang pada perkembangannya menghasilkan konsolidasi kaum priyayi.        
Munculnya kaum terpelajar tidak bisa dilepaskan dari perubahan peta imperialisme internasional pasca politik etis Belanda yang direstui oleh Ratu Wilhelmina. Di satu sisi, dengan difasilitasi penjajah, kelompok berkedudukan dari kalangan rakyat dengan serta merta menyekolahkan keluarganya sementara di sisi lain, kaum imperialis juga sudah menyiapkan isi kepala para pelajar untuk menyiapkan gagasan dan praktek imperialisme  yang lebih santun.
Ketidakberdayaan di tingkat paling mendasar dari gagasan pembebasan secara tidak sadar diidap setiap orang terpelajar kala itu, sehingga target utama adalah membebaskan bangsa dari imperialisme secara struktural (sebagai sebuah negara) tanpa mempersiapkan rakyat dengan basis yang kuat, bermental merdeka, yang mandiri dan punya gagasan pembebasan secara utuh. Kondisi yang tidak secepatnya difahami ini memang pada akhirnya secara tidak sengaja menghantarkan kemerdekaan tahun 1945, dan di sinilah kunci dari akutnya keterlibatan kapitalisme internasional sehingga Rakyat Indonesia tidak secepatnya menemukan jalan keluar pembebasannya.
Di sisi lain, secara tidak sadar ada sebuah ketertindasan panjang dalam sejarah Nusantara. Entah harus dilihat dari sisi yang mana bahwa kenyataan yang memulai sejarah kekuasaan dengan struktur kerajaan adalah gagasan yang datang dari India dengan tradisi Hindu dan Budha-nya (dari Kutai sampai Majapahit) baru kemudian disusul dengan sejarah yang lebih belakang dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam (dari Samudra Pasai sampai Mataram). Tradisi bangsa yang ada pada masa pra-Hindu dan Budha, yang akrab dan bersaudara yang bisa jadi sangat egaliter karena menggantungkan hidup dari alam (seperti dalam banyak cerita rakyat) tiba-tiba harus terkoyak-koyak karena pergerakan dipenuhi oleh para jurnalis yang beralih menjadi pemimpin pergerakan. Atau juga fenomena munculnya ISDV (Indische Social Democratische Vereenig-ing) yang berawal dari klub debat sosialis Belanda yang didirikan oleh Henk Sneev kehadiran aturan Kasta dalam kehidupan sehari-hari yang secara pasti mengakibatkan keterasingan yang dalam di berbagai kalangan, terbukti dengan kukuhnya Animisme dan Dinamisme yang dalam struktur keyakinan sosial masyarakat sering menampakkan diri dalam bentuk-bentuk messianisme.
Perjalanan masyarakat dengan keterasingan yang berceceran di setiap sudut kebudayaannya itulah yang menjadi penjelasan bahwa sebenarnya ketertindasan itu tidak bisa dibaca sebagai dimulai dari masuknya imperialis Eropa pada tahun 1511 saja. Analisa ketertindasan yang hanya dimulai sejak masuknya Eropa hanya menghasilkan pembebasan negara tanpa mampu secara utuh membebaskan bangsa dan rakyatnya dari mimpi buruk keterasingan dan ketertindasan: inilah masalah yang secara paradigmatik mempengaruhi pergerakan pada masa kebangkitan nasional di mana secara kuantitatif rakyat dilibatkan dalam gerak perubahan akan tetapi secara kualitatif gagasan pembebasan tidak sepenuhnya dipropagasikan.
Bahkan sampai sekarang “cacat” paradigma semacam itu masih terjadi menyangkut, misalnya, tuntutan serta kebijakan tentang otonomi daerah yang lebih bermakna sebagai pembebasan birokrasi dari kontrol bersama atas sumber-sumber produktif tanah dan air Indonesia dan bukannya sebagai bagian memproses kebangkitan rakyat mendaulatkan kekuasaannya atas sumber daya alam Indonesia.
Kita memang tidak sedang mengembangkan keperluan memundurkan sejarah sampai ke lingkungan gelap yang cenderung mitologis tentang yang asli dari masyarakat Nusantara. Kita cuma perlu melihat pada lokalitas-nasionalitas-globalitas kerja pembebasan dari struktur penindasan yang juga mengenali serta menggunakan modus-modus berdasarkan rumusan lokal-nasional-global tanpa harus terpukau dengan, katakanlah lokalisme-nasionalisme-globalisme yang saat ini telah menjadi satu di bawah kemenangan masyarakat pasar dan mengkomodifikasikan entitas bahkan sejarah manusia di dalamnya sebagai barang dagangan.
Pikiran dan gerakan radikal yang berkembang luas di Eropa pasca Revolusi Rusia 1918 Rusia secara simultan menginspirasi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan modern di Indonesia. Intensitas penjajahan dan buruknya nasib kaum pribumi menjadi lahan subur bagi pikiran dan gerakan radikal yang diorganisir golongan pribumi maju dan para propagandis internasional kaum sosialis.
Di sisi lain, para pekerja Eropa di berbagai sektor industri yang ada di Hindia Belanda turut mempercepat proses dissimenasi gagasan dan tindakan pergerakan. Pada saat yang sama, bangkitnya negara-negara Islam dalam perjuangan kemerdekaan sebagai penampakan politik dari modernisasi di pusat-pusat kebudayaan Islam, telah ambil bagian pula dalam mewarnai zaman pergerakan Indonesia di bawah kolonialisme Belanda.
Proses disseminasi gagasan dan kerja pergerakan yang menjadi sebuah keharusan disambut pula dengan reorientasi organ–organ pergerakan modern seturut situasi dunia yang melahirkan penghisapan dan ketertindasan. Sarekat Islam yang tumbuh dan berkembang dari Rekso Roemekso tahun 1912 sebagai contoh. Mereka lahir dari kumpulan orang–orang dekat Haji Samanhoedi yang mendirikan perkumpulan tersebut untuk mengamankan proses perekonomian golongan pribumi yang dalam perjalanannya kemudian menjadi organ modern yang mempunyai strategi pergerakan dengan surat kabar dan vergadering. Sehingga dengan tumbuhnya Sarekat Islam, dunia -liet tahun 1915, berorientasi pada peningkatan kualitas bumiputera dan pengorganisiran kekuatan rakyat untuk melawan peraturan pers yang ada di Hindia Belanda.
Fenomena Sarekat Islam tersebut dapat dimaknai sebagai alat untuk melihat kebangkitan Bumiputera Awal abad XX, yang masih terus bergerak mencari bentuk kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan untuk mencari proses pembebasan rakyat yang sejati. Bukan sebagai proses pembebasan yang tersusun dari serpihan–serpihan keterasingan budaya perlawanan yang  bebas masuk ke Hindia Belanda.
Dialektika antara propagandis internasional kaum sosialis yang dipengaruhi oleh politik etis dan kecenderungan-kecenderungan evolusioner-parlementarian yang dibawanya dengan struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah buruh dan petani membimbing pergerakan ke jalur revolusioner dan ekstraparlementer yang dimainkan oleh kelas buruh dan petani.
Kiri Perkotaan, demikian juga yang berkembang pada perdebatan tentang sosialisme, dengan point penting mempertanyakan ulang keruntuhan kapitalisme sebagai sebuah keniscayaan. Apa yang dilakukan dalam kajian penting abad XX tentang filsafat kritis Marx dan metodologi-dialektika pembebasan atas alienasi masyarakat dari kerja dan industrialisasi, uang, bahkan modernity. Lewat membandingkan rasionalitas dari yang terjadi dan seharusnya, darinya di temukan model pencerahan partisipatorik dan emansipatorik para subyek bebas.
Periode ini sekaligus melahirkan kritisisme teoritik atas tradisionalisme perkembangan pengetahuan, dalam konteks pergerakan digantikannya kekuatan basis bawah yang mengindikasikan kaum proletar dengan kehadiran mahasiswa (critical mass). Demikianlah yang terjadi di Perancis, sebuah kerangka perlawanan baru dari kaum kiri baru (kota) yang hampir saja menggusur kekuasan De Gaulle meski diliputi semangat besar perlawanan buruh secara umum di Eropa saat itu. Darinya, orang seperti Herbert Marcuse, menjadi ngeri sendiri betapa radikalisasi muncul namun tidak pernah menyertakan konteks ketertindasan secara keseluruhan, tidak juga segera menghentikan keterasingan.
Lepas dari itu semua, Perancis 1968 CUKUP LUMAYAN bagi perjalanan kaum kiri perkotaan dan mengangkat peran intelektual untuk lebih organik bagi keperluan-keperluan mengemansipasi massa buruh dan masyarakat modern dari keterasingan industrial. 
Ini berbanding terbalik dengan perkembangan kritisisme politik Indonesia pasca Soekarno. Jakarta 1966, dengan semangat demokrasi dan kebebasan dan anti komunisme, ternyata sekaligus mencerminkan pertarungan konstelasi global blok ekonomi dan politik yang terbentang dalam rentetan konflik Asia. Apa yang berkembang di Vietnam, semakin menguatnya Cina sebagai kekuatan sosialis, membidani teori Domino blok kapitalis berkaitan dengan kepentingannya meningkatkan penguasaan struktur hegemoni-dominasi global.
Angkatan ‘66 yang menginspirasikan penolakan ideologisasi Soekarno, memberi jalan keluar kepada Militer sebagai kucing, untuk mengejar berbagai macam tikus, hitam putih, merah dsb. Dengan percaya pada pelembagaan demokrasi sebelum berakhir pada pembusukan, pertumbuhan ekonomi pasar akan diikuti oleh pertumbuhan demokrasi, dimulailah konsolidasi orde baru sebagai Republik ketakutan (Republik of Fear).
Memang benar, setelahnya jiwa-rakyat. Secara epistemologis, dialah yang bertanggung jawab untuk melakukan praktek penyadaran kepada rakyat, secara ideologis dialah tenaga-tenaga perubah dunia.

PEMUDA ADALAH PIKIRAN-BERTINDAK.
Sejarah pemuda adalah pembangunanisme memang memainkan peran penting. Pertumbuhan ekonomi yang dipacu lewat pengembangan investasi, tabungan masyarakat, secara berkala memunculkan sikap penolakan sekaligus peringatan atas kemungkinan kelangsungan bentuk pemiskinan rakyat. Peristiwa Malari (15 Januari 1974), membuktikan peringatan itu yang berubah menjadi aksi pembakaran. Lepas dari krisis politik di tingkat elite militer pada saat itu, secara obyektif penolakan atas modal asing dan semakin terarahnya ketergantungan negara pada blok kapitalis memberi wacana baru bagi bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru.
Rentang waktu berikutnya, adalah penolakan secara terbuka atas pencalonan Soeharto sebagai presiden, Lewat apa yang di sebutnya sebagai Ikrar mahasiswa. Periode ini (1978), dapat digolongkan sebagai dua bentuk sikap sekaligus. Pertama, penolakan semata-mata karena gaya kekuasaan Soeharto. Kedua, penolakan atas model ekonomi Soeharto yang pro-kapital. Fenomena ini oleh Herbert Feith –untuk yang pertama—disebut dengan gerakan reguralis, yakni mengharap perkembangan kapitalisme harus diikuti oleh demokrasi, yang digambarkan dengan dibutuhkannya presiden baru. Sedang yang kedua disebut dengan irregularis, yakni sepenuhnya menolak cara produksi kapitalis yang dikomandoi Jenderal Soeharto.   
Kesadaran tentang peminggiran rakyat dalam setiap proses ekonomi politik Orde Baru memberi inspirasi pada gerakan yang secara substansial memaksudkan dirinya sebagai pembuka partisipasi rakyat dalam pergerakan memperjuangkan kedaulatannya. Periode 1980-an, pergerakan di Indonesia muncul dalam pengertian yang menolak pemusatan ekonomi politik serta penyeragaman fikiran. Ini tentu dapat dilacak asal-usulnya pada karakter penindasan yang dipraktekkan oleh Soeharto saat itu di mana secara ideologis –sejak 1983—Soeharto memperlakukan asas tunggal Pancasila yang dengan konsisten dijadikannya sebagai penjelasan atas perluasan penindasan-pembungkaman hak-hak ekonomi politik rakyat.
Secara khusus gerakan 80-an pada umumnya, melihat Negara dan kapitalisme sebagai penyebab proletariatisasi. Melalui identifikasi ini, gerakan populis kiri mulai muncul seiring dengan penggunaan wacana marxian dalam alat analisa dan kerja-kerja advokasi kerakyatan. Dalam periode ini juga mulailah keterlibatan wacana teologia dalam proses pembebasan, lewat tafsir baru atas kenyataan sosial, kehadiran agama digeser menjadi lebih antropologis. Pendek kata gerakan yang muncul dalam periode ini lebih langsung menyerang pada pusat-pusat keterasingan.
Terinspirasi oleh bangkitnya gerakan demokrasi dan perjuangan sosial Asia—seperti yang terjadi di Filipina, Cina, Myanmar, Korea-- konsolidasi kalangan terpelajar secara lebih organik pada dekade 80-an, pergerakan 90-an mewarisi cita-cita perubahan dengan sekian banyak kerja sebagai konsekuensi dari kebutuhan kemajuan pergerakan.
Dan Mei ‘98 adalah momentum bagi rakyat Indonesia untuk memulai kembali zaman pergerakan setelah mahasiswa dan krisis ekonomi bersatu padu menghentikan kekuasaan Soeharto. Lahirnya kebebasan politik diikuti dengan semakin terbukanya tuntutan atas berbagai perubahan yang lebih mendasar, tidak semata-mata restoratif-reformatif.
Dalam sejarah modern Indonesia pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan ada satu hal yang harus dicatat sebagai pikiran pada basis tindakan. Yakni dari setiap pergolakan, peran pemuda dan mahasiswa menjadi bagian penting. Terminologi pemuda pada masa-masa revolusi politik  ‘45 cukup signifikan sebanding dengan mahasiswa pada periode diktatur Soeharto berkuasa. Bagi kita Pemuda memiliki makna yang tidak semata-mata terminologis, namun lebih dari itu ia adalah sejarah massa; di dalamnya gagasan revolusioner penuh dengan harapan-harapan yang meningkat dari orang-tua, anak-anak, dan bahkan bayi-bayi yang baru lahir. Perubahan yang dikawal Pemuda adalah semangat dari kebijaksanaan orang-tua, cita-cita anak kecil, dan ketulusan dari bayi yang baru lahir. Pemuda adalah penghubung dari berbagai kenyataan sejarah. Bukankah lebih mulia disebut pemuda dibandingkan mahasiswa ? 
Kapitalisme internasional bahwa komparador mereka di negara-negara dunia ketiga mengutip keuntungan tidak sebagaimana mestinya, melahirkan pola yang lazim dikenal sebagai pengawasan (surveillence) atas birokrasi yang menjadi tumpuan operasional kapitalisme tidak mengarah pada kebijakan-kebijakan yang merugikan kelanjutan penghisapan. Di dalam spektrum yang harus kita baca secara jernih dan tanpa prasangka, tumbangnya beberapa diktator Asia pada dekade 1980-an  




REVOLUSI BERARTI MEMULAI
IDEOLOGI bukan ilmu nujum yang disusun untuk impian dan ramal-meramal perubahan. Kemampuan rasional manusia melihat masa depan harus dibuktikan dengan membangun relasi substansiil dengan proses yang berlangsung pada SAAT INI; bukan dengan mengumpul-ngumpulkan busa angan-angan menjadi gambaran yang seakan masuk akal.
Pintu akal kita, yang dengannya pikiran kita bakal terbuka dan dapat merencanakan (ingat; merencanakan, bukan meramal) masa depan, adalah tindakan dialektika yang sungguh-sungguh kita wujudkan melalui ukuran dan hitungan kenyataan.
Yang pertama harus kita hindari adalah penyakit Rabies Ideologorum, segolongan orang yang dengan merumit-rumitkan persoalan merasa sudah menyelesaikan persoalan. Padahal, yang mereka lakukan adalah mencampuradukkan kenyataan dengan impian; perjuangan dengan kepentingan. Di kalangan Marxis, penyakit ini dapat kita lihat gejalanya pada mereka yang dari inisiasi Tuan Marx tentang TEORI YANG MERUBAH KEADAAN tapi akhirnya mencukupkan diri menjadi bagian dari TEORI MEMANFAATKAN KEADAAN yang sesungguhnya merupakan sisa peninggalan gaya intelejen Amerika masa Perang Dingin untuk mendiskreditkan dan membersihkan kelompok-kelompok politik berhaluan Marxis.
Perang dingin sudah lama selesai; tetapi kesalahkaprahan yang diakibatkannya masih diagung-agungkan bahkan sampai sekarang. Korban Rabies Ideologorum dengan lantang menyuarakan pilihan-pilihan politik yang dinyatakan sebagai cita-cita rakyat dengan bahasa yang telah dipersiapkan oleh ideologi dan kepentingan yang justru anti-rakyat.
Mengembalikan ideologi sebagai jawaban persoalan-persoalan ekonomi politik serta kebudayaan rakyat, kita musti bikin jernih pikiran perjuangan kita sehingga tidak diboroki penyakit-penyakit yang meruyak dari busuknya kekuasaan. Ideologi bukan alat mencapai kekuasaan, justru kekuasaan harus DITUNDUKKAN untuk tercapainya cita-cita ideologi.
Tanpa kejernihan fikiran, perjuangan bakal dengan mudah terjebak menjadi revolusionerisme neurotis yang –di lingkungan borjuis-- muncul dari status kesadaran yang hanya mempercayakan kemanusian pada persoalan kalah menang dalam urusan kekuasaan dan –di lingkungan masyarakat biasa—keadaan jiwa yang sedang TIDAK TERIMA bahwa ada yang hilang di masa lalu kemanusiaan mereka.
REVOLUSI BUKAN MIMPI BURUK. Situasi revolusioner yang sesungguhnya tidak bakal bisa diciptakan dengan menyebarkan seluas-luasnya kecemasan. Tugas kaum revolusioner –berbeda dengan tugas tentara—bukanlah menakut-nakuti rakyat supaya bertindak di atas ketidaksadarannya. Membangun benteng sekaligus gudang senjata kesadaran massa sehingga aksi-aksi revolusioner mereka dapat menjadi langkah yang efektif bagi tercapainya cita-cita pembebasan, itulah tugas utama NASIONAL DEMOKRASI KERAKYATAN dari pergerakan.
Tidak ada GLADIRESIK dalam revolusi. Itulah satu-satunya alasan kenapa kita butuh KEWASPADAAN, bukan KECURIGAAN yang hanya akan melahirkan Rencana-rencana Gerakan tidak lebih sebagai bentuk lain frustasi permanen para pemburu kekuasaan. Bagi kaum NASIONAL DEMOKRASI KERAKYATAN, fitnah bukan cara yang efektif untuk menyalakan api revolusi.
MERETAS JALAN KEMENANGAN; kekuatan pergerakan musti dengan sukarela dan gembira membangun ideologinya sebagaimana kaum tertindas dunia ketiga, buruh tani Indonesia, menempa keuletannya berhadapan dengan silih ganti penghisapan-penindasan. Keliatan sejarah rakyat Indonesia sebagai bangsa terjajah: inilah modal awal perjuangan militan negeri ini.
Belum munculnya kelompok terdidik yang secara sadar dan bertanggungjawab menyediakan diri untuk merumuskan secara sistematis jalan keluar bagi keuletan itu dari semata-mata bentuk keterpinggiran; eskapisme historis, adalah penyebab utama kenapa Rakyat Indonesia; dengan ketangguhan mental yang secara alamiah tertempa oleh sekian ratus tahun penindasan serta optimisme yang selalu segar dan hijau, sampai saat ini masih harus tertahan kemenangannya.
Seksi mahasiswa perjuangan Rakyat Indonesia, punya kebutuhan penting di lingkungan ini. Bukan untuk mengobral teori dan kesombongan sebagai pemasok kesadaran ke kepalanya buruh tani; akan tetapi untuk menjadi penghubung antara keliatan fikiran dan kearifan mereka dengan fase-fase perjuangan menyusun kemerdekaan. Sebagai kekuatan produktif, daya juang serta daya tahan ekonomi politik mereka akan menjadi gelombang besar pergerakan bersama kepemimpinan organisasi perjuangan yang siap dan bersedia MENJADI MEREKA, bukan membawa-bawa nama mereka.

Tugas Nasional Perjuangan Pemuda
Cita-cita nasional kita, bukan untuk dibandingkan dengan cita-cita nasional Soekarno dan kawan-kawan sezaman, lahir dari dan untuk Perjuangan Semesta mengukuhkan kuasa rakyat atas alat produksi, sistem pemerintahan, dan ilmu pengetahuan. Lahir dan didorong oleh kemestian menegosiasikan kembali bangunan sejarah yang sejak awal diwataki oleh hukum-hukum penindasan, perjuangan nasional adalah tindakan permanen memperjuangkan martabat ekonomi politik rakyat di atas dasar kemandirian sejarahnya.
Tindakan; (apa yang pernah dilakukan Soekarno dan kawan-kawan, apa yang sedang dan hendak kita lakukan) itulah yang (akan) membedakan setiap periode perjuangan! PEMBEOAN-PERGERAKAN MUSTAHIL TERJADI SELAMA KITA MASIH PERCAYA BAHWA IA -PERGERAKAN ITU- HANYA BISA DIBANGUN SEBAGAI ARGUMENTASI PEMBEBASAN DENGAN DAN MELALUI TINDAKAN.  
Mengorganisir liatnya mental yang terbentuk dari pengalaman ekonomi politik selama berada di bawah kolong ketertindasan, dan mengarahkannya sampai derajat yang memungkinkan rakyat menemukan titik ideologis dari fikiran-fikirannya; kesadaran pokok dari pengalaman-pengalamannya, merupakan tugas kebudayaan perjuangan pemuda Indonesia dalam memulihkan martabat sejarah rakyatnya.
Pembudayaan secara revolusioner siasat rakyat mempertahankan hidup di bawah penindasan yang paling maksimal sekalipun, akan mengantarkan Rakyat Indonesia pada kesadaran dan tindakan yang lebih utuh dalam memaknai perjuangan. Proses sejarah rakyat menyiasati penindasan harus dihubungkan dengan proses mempersiapkan pembebasan.
Di lapangan ekonomi politik, perjuangan nasional pemuda haruslah menjadi benteng ekonomi politik rakyat, dari praktek LEMPAR BATU AMBIL EMASNYA kapitalisme internasional, cq borjuasi nasional yang memiskinkan alam dan membodohkan manusia Indonesia.

Tugas Demokratik Perjuangan Pemuda
Demokrasi adalah sebuah model berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Demokrasi di sini bukan diartikan dalam konteks liberalisasi melainkan kritisisme di tingkatan massa. Demokrasi, demokratisasi dan perjuangan demokratik bukanlah semata-mata kemunculan banyak partai dan kebebasan vulgar liberalisme, akan tetapi sebuah sikap dan perbuatan yang mana kepentingan rakyat bisa terlaksanakan dan struktur penindasan terkuburkan oleh elemen-elemen politik.
Di sisi yang lain adalah tidak meletakan rakyat hanya sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, melainkan munculnya kritisisme massa yang telah sekian lama di-NINABOBO-kan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Bagaimana demokrasi harus di pahami, tentu sangatlah bergantung dengan kepentingan rakyat yang terjalin lewat logika ekonomistis sebagai turunan dari moda produksi yang dimungkinkan dalam sebuah formasi sosial. Formasi sosial yang terdifferensiasi dalam struktur dan fungsi, serta eksternal faktor lainnya (sistem religi), disinilah masyarakat dalam pengertian struktur kelas dan nilai.
Demokrasi menjamin perjuangan kelas tertindas dan merumuskan tuntutannya melalui organisasi-organisasi yang basis konstituennya jelas, dan terintegrasi secara vertikal. Dari kehadiran organisasi-organisasi tersebut, terbentuklah formasi politik yang menjamin kelangsungan proses ekonomi-politik dalam sistem negara.
Jika dibandingkan dengan realitetnya, sungguh berbeda apa yang kita bicarakan dengan apa yang kita lihat secara inderawi. Demokrasi bagi kita saat ini adalah kebebasan pendapat, dengan basic organisasi yang tidak nyata dalam pengertian massa maupun gagasan ekonomistisnya. Kekacauan praktek politik Indonesia terakhir dimulai dari tidak jelasnya batasan antara formasi sosial dan formasi politik.
Ini artinya, tugas demokratik perjuangan pemuda adalah menciptakan formasi sosial yang sehat lewat penguatan basis produktif berdasar perkembangan mode produksi kapital yang berlangsung dalam masyarakat. Ideologisasi dalam artian penyadaran atas fakta-fakta penindasan, haruslah menjadi kurikulum proses pendidikan massa-sektoral. Disinilah tugas awal kita, sebuah upaya mempersepsikan masyarakat kedalam organisasi-organisasi perjuangan. Jika ini berlangsung secara permanen dan konsisten maka ia akan merumuskan dengan sendirinya formasi politik sebagai manifestasi dari upaya mempersepsikan kekuasaan.
Tugas Kerakyatan Perjuangan Pemuda
Kerakyatan adalah orientasi bagi masyarakat dan pemerintahan yang demokratis. Dalam perspektif masyarakat sipil diartikan bagaimana mendorong kritisisme rakyat terhadap mode produksi dan negara serta rakyat mampu memberdayakan dirinya secara pengetahuan, ekonomi dan politik, sehingga mampu mendorong negara untuk menjadi revolusioner. Sedangkan dalam perspektif masyarakat politik adalah bagaimana kemampuan negara, partai politik, parlemen dan birokrasi untuk selalu menyerap artikulasi dari grass root bukannya sekedar menjadi alat dari borjuasi.
Rakyat, kerakyatan tentu saja sebuah subyek-subyek sadar yang memiliki sikap atas berbagai bentuk penindasan yang dialaminya. Penindasan obyektif adalah tatkala sumber dan alat produksi dirampas oleh negara maupun kapital. Indonesia sebagai pengertian tanah dan air sebagai basis produksi, menyiratkan modus penindasan pada perampasan hak milik tanah dari para petani penggarap, hingga karenanya ia disebut kaum kromo, kaum proletar.
Keberadaan pabrik-pabrik akibat proses industrialisasi, menyaratkan keadaan buruh kita pada kondisi minimum. Hal ini bisa diterangkan sebagai akibat bentukan industri kita yang dibangun dengan murahnya tenaga kerja. Relokasi industri dari negara maju. Upah minimum regional membuktikan tingkat kesejahteraan buruh di luar prioritas pembangunan ekonomi. Sistem upah tidah didasarkan pada kebutuhan primer sekunder buruh tetapi dari sisa atas banyaknya nilai lebih yang dicuri kapitalis yang dirente oleh birokrasi dan militer.  
Perjuangan kerakyatan adalah mengembalikan apa yang menjadi hak dari buruh dan petani kita. Yang kita maksud dengan Hak adalah kemampuan petani untuk berproduksi kembali melalui kepemilikan tanah produktif oleh petani menggantikan kepemilikan tunggal oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar.  Bagi buruh, tidak ada jalan lain kecuali memaksa sang kapitalis untuk merubah manajerial pabrik dengan kesejahteraan buruh sebagai dasar hubungan produksi yang saling menguntungkan.

Menemukan Periode Kebudayaan Masyarakat Indonesia
Dengan menindak perjalanan panjang sejarah masyarakat nusantara, tanda tanya yang ada pada kita akan menemukan awalan dan akhiran sehingga menjadi pertanyaan: dalam bentuk apa, dalam periode kebudayaan seperti apa, masyarakat dan manusia Indonesia dapat menegaskan sikapnya atas perkara sejarah yang melingkupinya?
Adakah persepsi strategis tentang –misalnya— ngalah, ngalih, ngamuk akan hanya bisa difahami sebagai sikap individual manusia Indonesia menghadapi mekanisme yang berlangsung di luar kendali dirinya? Adakah ia punya kemungkinan untuk melahirkan periode tindakan kolektif massa rakyat dengan pengalaman mengingat ketertindasan yang sama?
Kita, anak-anak rakyatlah yang harus menyediakan segenap kesadaran utuh untuk menjawab pertanyaan itu.
Evolusi penindasan yang men-darahdaging-i hidup rakyat Indonesia adalah sebab dari kesediaan kita menyongsong Revolusi. Bunga-bunga revolusi, heroisme 1945 atau histeria 1965, sudah cukup membuat seluruh kemampuan sadar kita dipasrahkan kepada perjuangan membela kehidupan. Karena dalam sejarah yang hanya mengenalkan kematian sebagai cara mencapai kemuliaan, perjuangan paling mulia adalah menghormati kehidupan.
Menghormati kehidupan masa lalu kita, menghargai kehidupan masa depan kita; inilah niat awal bangunan kebudayaan yang kita cita-citakan.











[1]Zaman wae gu
[2]Kalangan pegawai negeri sipil
[3] Pegawai Negeri Sipil
[4]meminjam istilah jalaluddin rakhmat
[5]Tulisan sebuah artikel  yang tertera di Koran harian kompas 2010

[7] Bentuk budaya riil dig u misalnya, menghormati orang tua, ketua adat, sopan santun dll.
[8] Definisi pendidikan konteks sekarang. Sebab memang demikian halnya. Pendidikan tidak lagi selayaknya menyadarkan manusia tentang hakikat keberadaannya melainkan menjauhkan mereka dari hakikat sebenarnya. Generasi mendo gu adalah generasi yang telah memasuki fase teknologi. Semua yang berbau ajaran tradisional yang keahliannya timbul secara alami, yang kemudian bisa dikembangkan sesuai konteks zaman, kini terpaksa diputus dan disingkirkan. Mereka lebih menerima hal-hal yang berbau teknologi. Maka yang hanya berbau teknologilah yang diterima dikalangan komunitas mendo gu. Sedang individu-individu yang masih mempertahankan ajaran tradisional mendo gu kini telah termarjinalkan dengan sendirinya.
[9] Maksudnya adalah kapitalisme internasional, desain permainan kapitalisme internasional dengan memperalat Negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan legitimasi Negara, masyarakat menganggab semua keputusan pemerintah adalah murni untuk kesejahteraan masyarakat tanpa melihat siapa pelaku atau dalang dibalik keputusan dari pusat. Sebab, arah keputusan di Indonesia adalah dari pusat kebawah(lokalitas) dengan legitimasi UU. Inilah yang dimanfaatkan kapitalisme internasional untuk menghindari over produksi. Jika terjadi over produksi maka kapitalisme internasional mengalami kebangkrutan yang luar biasa dan mereka sangat menyadari akan adanya bahaya ini. Maka Negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia yang menjadi “pasar”nya.
[10]Ingat!,  ini hanya sebatas merakit serta mempergunakan alat tak pernah sekalipun diajarkan begaimana menciptakan alat teknologo yang baru. 
[11]Misalnya pengobatan sambung tulang, keahlian memilih akar rumput sebagai obat, meracik obat dari dedaunan, meramal penyakit pada seseorang, dsb. 
[12]Pemerintah daerah.
[13] Dengan legitimasi ayat dengan mengesampingkan makna ayat sesungguhnya.
[14]provit
[15] Baik di Madrasah Tsanawiyah swasta maupun negri dan SMP swasta maupn negri
[16] Matematika, fisika, kimia dan biologi.
[17] Lulus dari SLTP
[18]Yang umumnya mempelajari ilmu-ilmu sosial
[19]Yang selalu membrontak dengan sistem serta kebijakan kampus
[20]Yang tanpa disertai oleh kesadaran para guru-guru PNS
[21]Agama 
[22]Mendo Gu menyebut itu adalah Liwu
[23]Konon yang merobohkan masjid itu adalah salah seorang warga mendo gu yang bercocok tanam diwilayah itu.
[24] Mendo gu yang memehami fase perjalanan sejarahnya.
[25]Manifesto FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) .
[26] Isi bagian Manifesto FPPI