Selasa, 10 Januari 2012

kumpulan materi administrasi pembangunan, tugas kasim



1.                  Apa yang dimaksud dengan administrasi pembangunan ?
Jawaban :
Sisi pertama dari administrasi pembangunan adalah administrasi dari atau bagi pembangunan (administration of development). Banyak cara pendekatan untuk mengkaji administrasi. Bisa dari segi komponennya, kegiatannya maupun prosesnya. Bisa juga menggunakan pendekatan yang relatif baru berkembang yaitu kebijaksanaan publik, seperti yang telah diuraikan di atas. Namun, untuk dasar pemahaman dapat digunakan pendekatan Waldo (1992), bahwa kalau kita cerminkan administrasi untuk mencari wujudnya, maka ditemukan dua aspek, yaitu manajemen dan organisasi, sedangkan manajemen adalah fisiologinya. Organisasi biasanya digambarkan sebagai wujud statis dan mengikuti pola tertentu, sedangkan manajemen adalah dinamis dan menunjukkan gerakan atau proses. Keduanya dapat digunakan untuk analisis administrasi.
Untuk membahas administrasi bagi pembangunan, Lebih tepat digunakan pendekatan manajemen. Karena itu pada dasarnya dapat dikatakan Bahwa masalah administrasi bagi pembangunan adalah masalah manajemen pembangunan. Studi mengenai manajemen telah banyak mengilhami perkembangan. Namun teori pokoknya tidak berubah, bahwa yaitu sekurang-kurangnya ada tiga kegiatan besar yang dilakukan oleh manajemen, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Fungsi manajemen pada sistem administrasi mana pun, baik di negara yang sedang membangun maupun di negara maju, sama saja, yang berbeda adalah penekanannya. Teknik atau metode penyelenggaraannya juga dapat berbeda tergantung pada pengaruh berbagai faktor, seperti system politik, latar belakang budaya, atau tingkat penguasaan teknologi.
Manajemen pembangunan adalah manajemen publik dengan ciri-ciri yang khas, seperti juga administrasi pembangunan adalah administrasi publik (negara) dengan kekhasan tertentu. Untuk analisis manajemen pembangunan dikenali beberapa fungsi yang cukup nyata (district), yakni: (1) perencanaan, (2) pengerahan (mobilisasi) sumber daya, (3) pengerahan (menggerakkan) partisipasi masyarakat, (4) penganggaran, (5) pelaksanaan pembangunan yang ditangani langsung oleh pemerintah, (6) koordinasi, (7) pemantauan dan evaluasi dan (8) pengawasan. Di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut
berbagai fungsi tersebut, dan dilengkapi dengan (9) peran informasi yang amat penting sebagai instrumen atau perangkat bagi manajemen. Administrasi pembangunan mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan – keputusan yang telah diambil dan diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).
Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli. Hiram S. Phillips mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the traditional term of public administration to indicate the need for a dynamic process designed particularly to meet requirements of social and economic changes.[1] Pernyataan ini diartikan sebagai lebih baik dari pada masa tradisional administrasi publik untuk menunjukkan kebutuhan untuk suatu proses dinamis yang didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat perubahan sosial dan ekonomi.
Paul Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development administration can be regarded as the public management of economic and social change in term of deliberate public policy. The development administrator is concerned with guiding change.[2] Pernyataan ini diartikan sebagai administrasi pembangunan dapat dipandang sebagai manajemen publik perubahan ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa kebijakan publik. Administrator pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan terarah.

Ciri – Ciri Administrasi Pembangunan
Ada beberapa ciri administrasi pembangunan menurut Irving Swerdlow[3] dan Saul M. Katz[4]. Pertama, adanya suatu orientasi administrasi untuk mendukung pembangunan. Administrasi bagi perubahan – perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik. Keadaan yang lebih baik ini bagi negara – negara baru berkembang dinyatakan dengan usaha ke arah modernisasi, atau pembangunan bangsa atau pembangunan sosial ekonomi. Di dalam administrasi pembangunan, diberikan uraian mengenai saling kait – berkaitnya administrasi dengan aspek – aspek  pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain – lain. Kedua, adanya peran administrator sebagai unsur pembangunan. Peranan serta fungsi pemerintah  sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Administrator juga dapat menciptakan suatu sistem dan praktek administrasi yang membina partisipasi dalam pembangunan. Ketiga, perkembangan, baik dalam ilmu maupun pelaksanaan perencana pembangunan terdapat orientasi yang semakin besar memberikan perhatian terhadap aspek pelaksanaan rencana. Suatu perencanaan yang berorientasi pada pelaksanaannya akan lebih banyak memperhatikan aspek administrasi dalam aspek pembangunannya. Keempat, administrasi pembangunan masih berdasarkan pada prinsip – prinsip administrasi negara. Namun, administrasi pembangunan memiliki ciri – ciri yang lebih maju daripada administrasi negara.
Sondang P. Siagian juga merumuskan ciri – ciri administrasi pembangunan[5]. Pertama, Administasi pembangunan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan masyarakat yang berbeda – beda, terutama bagi lingkungan  masyarakat negara – negara baru berkembang. Kedua, administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan berkepentingan terhadap tujuan – tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya maupun dalam pelaksanaannya yang efektif. Bahkan, administrasi ikut serta mempengaruhi tujuan – tujuan pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan – tujuan sosial, ekonomi, dan lain – lain yang dirumuskan kebijaksanaannya dalam proses politik. Ketiga, administrasi pembangunan berorientasi kepada usaha – usaha yang mendorong perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik untuk suatu masyarakat di masa depan atau berorientasi masa depan. Keempat, administrasi pembangunan lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas – tugas pembangunan dari pemerintah. Administrasi pembangunan  lebih bersikap sebagai ”development agent”, yakni  kemampuan untuk merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaan yang efektif, serta sebagai kemampuan dan pengendalian instrumen – instrumen bagi pencapaian tujuan – tujuan pembangunan. Kelima, administrasi pembangunan harus mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan – tujuan pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan lain – lain. Keenam, dalam administrasi pembangunan, administrator dalam aparatur pemerintah juga bisa menjadi pergerak perubahan. Ketujuh, administrasi pembangunan lebih berpendekatan lingkungan, berorientasi pada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah. Ketiga unsur ini disebut mission driven.
Ruang Lingkup Administrasi Pembangunan
                Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, ada beberapa gambaran mengenai ruang lingkup administrasi pembangunan. Pertama, administrasi pembangunan mempunyai dua fungsi, yaitu the development  of administration dan the administration of development. The development  of administration menyangkut usaha penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian, tata kerja, dan pengurusan sarana – sarana administrasi lainnya, sedangkan the administration of development menyangkut masalah perumusan kebijaksanaan – kebijaksanaan dan program – program pembangunan di berbagai bidang serta pelaksanaannya secara efektif.  Kedua, administrasi untuk pembangunan dapat dibagi menjadi dua subfungsi. Pertama, perumusan kebijaksanaan pembangunan. Formulasi kebijaksanaan negara atau pemerintah tidak hanya dilakukan dalam proses administrasi, tetapi juga dalam tingkat tertentu dalam proses politik. Kebijaksanaan dan program dirumuskan dalam suatu rencana pembangunan. Mekanisme dan tata kerja dalam proses analisa, perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijaksanaan dan program pembangunan tersebut dapat diupayakan untuk disempurnakan. Kedua, pelaksanaan dari kebijaksanaan dan program tersebut dahulu secara efektif. Untuk melakukannya, administrator memerlukan penyusunan instrumen – instrumen yang baik. Ada dua kegiatan yang mendapat perhatian. Pertama, masalah kepemimpinan, koordinasi, pengawasan, dan fungsi administrator sebagai unsur pembangunan. Kedua, pengendalian atau pengurusan yang baik dari administrasi fungsionil, seperti perlembagaan dalam arti sempit, kepegawaian, pembiayaan pambangunan, dan lain – lain sebagai sarana pencapaian tujuan kebijaksanaan dan program pembangunan.

Bagaimanakah Administrasi Pembangunan sebagai Paradigma Administrasi Negara
Jawaban :
A. Definisi Paradigma
Paradigma menjadi konsep yang menarik perhatian ilmuwan sejak Thomas Kuhn menulis buku ”The Structure of Scientific Revolution”. Sungguh pun latar belakang Kuhn adalah bidang ilmu alam, namun pandangan paradigmatik Kuhn banyak mempengaruhi pengamat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu administrasi negara.
Untuk memahami perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi negara, perlu diketahui  terlebih dahulu apa makna dari paradigma. Secara etimologis, kata “paradigm” berasal dari bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola ( pattern) atau contoh (example). Oxford English Dictionary merumuskan paradigma sebagai “ a pattern or model, an exemplar”.
Secara umum paradigma diartikan sebagai :
Cara kita memandang sesuatu (point of view), sudut pandang, atau keyakinan (belief).
Cara kita memahami dan menafsirkan suatu realitas.
Paradigma seperti ‘peta’ atau ‘kompas’ di kepala. Kita melihat atau memahami segala sesuatu sebagaimana yang seharusnya .
American Heritage Dictionary merumuskan paradigma sebagai :
Serangkaian asumsi, konsep, nilai-nilai, dan praktek-praktek yang diyakini oleh suatu komunitas dan menjadi cara  pandang suatu realitas ( A set of assumptions, concepts, and values, and practices that constitutes a way of viewing reality for the community that shares them).


Thomas Kuhn :
Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan sesuatu masalah , yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Menurut Thomas Kuhn , krisis akan timbul apabila suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipecahkan secara memuaskan dengan menggunakan pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific revolution” di kalangan masyarakat ilmuwan untuk melakukan penilaian atau pemikiran kembali paradigma yang ada dan mencoba menemukan paradigma baru yang dapat memberikan penjelasan dan alternatif pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan.

B. Perkembangan Paradigma Administrasi Negara
Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu administrasi publik, krisis akademis terjadi beberapa kali sebagaimana terlihat dari pergantian paradigma yang lama dengan yang baru. Nicholas Henry melihat perubahan paradigma ditinjau dari pergeseran locus dan focus suatu disiplin ilm. Fokus mempersoalkan “what of the field” atau metode dasar yang digunakan atau cara-cara ilmiah apa yang dapay digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Sedang locus mencakup “where of the field” atau medan atau tempat dimana metode tersebut digunakan atau diterapkan.
Berdasarkan locus dan focus suatu disiplin ilmu, Henry membagi paradigma administrasi negara menjadi lima, yaitu :
Paradigma Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926)
Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937)
Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970an)
Pada tahun 1970an, George Frederickson memunculkan model Administrasi Negara Baru (New Public Administration). Paradigma ini merupakan kritik terhadap paradigma administrasi negara lama yang cenderung mengutamakan pentingnya nilai ekonomi seperti efisiensi dan efektivitas sebagai tolok ukur kinerja administrasi negara. Menurut paradigma Administrasi Negara Baru, administrasi negara selain bertujuan meraih efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan juga mempunyai komitmen untuk mewujudkan manajemen publik yang responsif dan berkeadilan (social equity).
Pada tahun 1980 – 1990an muncul paradigma baru dengan berbagai macam sebutan seperti ’managerialism’, ’new public management’, ’reinventing government’, dan sebagainya.  Paradigma administrasi negara yang lahir pada era tahun 1990an pada hakekatnya berisi kritikan terhadap administrasi model lama yang sentralistis dan birokratis.  Ide dasar dari paradigma semacam NPM dan Reinventing Government adalah bagaimana mengadopsi model manajemen di dunia bisnis untuk mereformasi birokrasi agar siap menghadapi tantangan global.
Pada tahun 2003, muncul paradigma New Public Service (NPS) yang dikemukakan oleh Dernhart dan Derhart. Paradigma ini mengkritisi pokok-pokok pemikiran paradigma administrasi negara pro-pasar. Ide pokok paradigma  NPS adalah mewujudkan administrasi negara yang menghargai citizenship, demokrasi dan hak asasi manusia.
Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan paradigma dalam teori administrasi negara, buku ini membatasi pada empat paradigma yaitu Paradigma Administrasi Negara Tradisional atau disebut juga sebagai paradigma Administrasi Negara Lama (Old Public Administration), Paradigma New Public Administration, Paradigma New Public Management, dan Paradigma Governance /New Public Service.

Paradigma Administrasi Negara Lama
Paradigma Administrasi Negara Lama dikenal juga dengan sebutan Administrasi Negara Tradisional atau Klasik. Paradigma ini merupakan paradigma yang berkembang pada awal kelahiran ilmu administrasi negara. Tokoh paradigma ini adalah antara lain adalah pelopor berdirinya ilmu administrasi negara  Woodrow Wilson dengan karyanya  The Study of Administration”(1887) serta F.W. Taylor dengan bukunya “Principles of Scientific Management”
Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen administrasi negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi negara merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi.
Ide-ide yang berkembang pada tahun 1900-an memperkuat paradigma dikotomi politik dan administrasi, seperti karya Frank Goodnow ”Politic and Administration”. Karya fenomenal lainnya adalah tulisan Frederick W.Taylor ”Principles of Scientific Management (1911). Taylor adalah pakar manajemen ilmiah yang mengembangkan pendekatan baru dalam manajemen pabrik di sector swasta – Time and Motion Study. Metode ini menyebutkan ada cara terbaik untuk melaksanakan tugas tertentu. Manajemen ilmiah dimaksudkan untuk meningkatkan output dengan menemukan metode produksi yang paling cepat, efisien, dan paling tidak melelahkan.Jika ada cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas di sector industri, tentunya ada juga cara sama untuk organisasi public.Wilson berpendapat pada hakekatnya bidang administrasi adalah bidang bisnis, sehingga metode yang berhasil di dunia bisnis dapat juga diterapkan untuk manajemen sektor publik.
Teori penting lain yang berkembang adalah analisis  birokrasi dari Max  Weber. Weber mengemukakan ciri-ciri struktur birokrasi yang meliputi hirarki kewenangan, seleksi dan promosi berdasarkan merit system, aturan dan regulasi yang merumuskan prosedur dan tanggungjawab kantor, dan sebagainya. Karakteristik ini disebut sebagai bentuk kewenangan yang legal rasional yang menjadi dasar  birokrasi modern.
Ide atau prinsip dasar dari Administrasi Negara Lama (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah :
Fokus pemerintah pada pelayanan publik secara langsung melalui badan-badan pemerintah.
Kebijakan publik dan administrasi menyangkut perumusan dan implementasi kebijakan dengan penentuan tujuan yang dirumuskan secara politis dan tunggal.
Administrasi publik mempunyai peranan yang terbatas dalam pembuatan kebijakan dan kepemerintahan, administrasi publik lebih banyak dibebani dengan fungsi implementasi kebijakan publik
Pemberian pelayanan publik harus dilaksanakan oleh administrator yang bertanggungjawab kepada ”elected official” (pejabat/birokrat politik) dan memiliki diskresi yang terbatas dalam menjalankan tugasnya.
Administrasi negara bertanggungjawab secara demokratis kepada pejabat politik
Program publik dilaksanakan melalui organisasi hirarkis, dengan manajer yang menjalankan kontrol dari puncak organisasi
Nilai utama organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas
Organisasi publik beroperasi sebagai sistem tertutup, sehingga partisipasi warga negara terbatas
Peranan administrator publik dirumuskan sebagai fungsi POSDCORB

Paradigma Administrasi Negara Baru
Paradigma ini berkembang tahun 1970an. Paradigma Administrasi Negara Baru (New Public Administration) muncul dari perdebatan hangat tentang kedudukan administrasi negara sebagai disiplin ilmu maupun profesi. Dwight Waldo menganggap administrasi negara berada dalam posisi revolusi ( a time of revolution) sehingga mengundang para pakar ilmu administrasi negara dalam suatu konferensi yang menghasilkan kumpulan makalah ”Toward a New Public Administration : The Minnowbrook Perspective” (1971). Tujuan konferensi ini adalah mengidentifikasi apa saja yang relevan dengan administrasi negara dan bagaimana disiplin administrasi negara harus menyesuaikan dengan tantangan tahun 1970an. Salah satu artikel dalam kumpulan makalah ini adalah karya George Frederickson berjudul ”The New Public Administration”.
Paradigma New Public Administration pada dasarnya mengkritisi paradigma administrasi lama atau klasik yang terlalu menekankan pada parameter ekonomi.  Menurut paradigma Administrasi Negara Baru, kinerja administrasi publik tidak hanya dinilai dari pencapaian nilai ekonomi ,efisiensi, dan efektivitas ,tapi juga pada nilai “social equity” (disebut sebagai pilar ketiga setelah nilai efisiensi dan efektivitas). Implikasi dari komitmen pada ”social equity”, maka administrator publik harus menjadi ’proactive administrator’ bukan sekedar birokrat yang  apolitis.
Fokus dari Administrasi Negara Baru meliputi usaha untuk membuat organisasi publik mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang dilaksanakan dengan pengembangan sistem desentralisasi dan organisasi demokratis yang responsif dan partisipatif, serta dapat memberikan pelayanan publik secara merata. Karena administrasi negara mempunyai komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan (social equity), maka Frederickson menolak pandangan bahwa administrator dan teori-teori administrasi negara harus netral dan bebas nilai.

Paradigma New Public Management
Paradigma New Public Management (NPM) muncul tahun 1980an dan menguat tahun 1990an sampai sekarang. Prinsip dasar paradigma NPM adalah menjalankan administrasi negara sebagaimana menggerakkan sektor bisnis (run government like a business atau market as solution to the ills in public sector). Strategi ini perlu dijalankan agar birokrasi model lama - yang lamban, kaku dan birokratis –  siap menjawab tantangan era globalisasi .
Model pemikiran semacam NPM juga dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) dalam konsep ”Reinventing Government”.Osbone dan Gaebler menyarankan agar meyuntikkan semangat wirausaha ke dalam sistem administrasi negara. Birokrasi publik harus lebih menggunakan cara ”steering” (mengarahkan) daripada ”rowing” (mengayuh). Dengan cara ”steering”, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik, melainkan sedapat mungkin menyerahkan ke masyarakat. Peran negara lebih sebagai fasilitator atau supervisor penyelenggaraan urusan publik. Model birokrasi yang hirarkis-formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk menjawab problem publik di era global.
Ide atau prinsip dasar paradigma NPM (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah :
Mencoba menggunakan pendekatan bisnis di sektor publik
Penggunaan terminologi dan mekanisme pasar , dimana hubungan antara organisasi publik dan customer dipahami sebagaimana transaksi yang terjadi di pasar.
Administrator publik ditantang untuk dapat menemukan atau mengembangkan cara baru yang inovatif untuk mencapai hasil atau memprivatisasi fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan pemerintah
steer not row” artinya birokrat/PNS tidak mesti menjalankan sendiri tugas pelayanan publik, apabila dimungkinkan fungsi itu dapat dilimpahkan ke pihak lain melalui sistem kontrak atau swastanisasi.
NPM menekankan akuntabilitas pada customer dan kinerja yang tinggi, restrukturisasi birokrasi, perumusan kembali misi organisasi, perampingan prosedur, dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan

Paradigma New Public Service dan Governance
Paradigma New Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui tulisan Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public Service : Serving, not Steering  terbit tahun 2003. Paradigma NPS dimaksudkan untuk meng”counter” paradigma administrasi yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma New Public Management yang berprinsip “run government like a businesss” atau “market as solution to the ills in public sector”.
Menurut paradigma NPS , menjalankan administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan organisasi bisnis. Administrasi negara harus digerakkan sebagaimana menggerakkan pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa (customer) tapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik.
 Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga negara (citizen) bukan sebagai pelanggan (customer). Administrasi negara tidak sekedar bagaimana memuaskan pelanggan tapi juga bagaimana memberikan hak warga negara dalam mendapatkan pelayanan publik. Cara pandang paradigma NPS ini ,menurut Dernhart (2008), diilhami oleh (1) teori politik demokrasi  terutama yang berkaitan dengan relasi warga negara (citizens) dengan pemerintah, dan (2) pendekatan humanistik dalam teori organisasi dan manajemen.
Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak aktor dalam penyelenggaraan  urusan publik . Dalam administrasi publik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga negara. Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikan oleh semua aktor baik negara, bisnis, maupun masyarakat sipil.  Pandangan semacam ini yang menjadikan paradigma NPS disebut juga sebagai paradigma Governance. Teori Governance berpandangan bahwa negara atau pemerintah di era global tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi atau aktor yang mampu secara efisien, ekonomis dan adil menyediakan berbagai bentuk pelayanan publik sehingga paradigma Governance memandang penting kemitraan (partnership) dan jaringan (networking) antar banyak stakeholders dalam penyelenggaraan urusan publik. 

Sumber :
Tri Kadarwati. 2001. Administrasi Negara Perbandingan. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Yeremias T. Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Penerbitan Gaya Media. Yogyakarta

Owen E.Hughes. Public Management and Administration: An Introduction. St. Martin’s Press,Inc. New York.1994

Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart. 2003. The New Public Service : Serving, not Steering. M.E Sharpe, New York.

Robert B. Dernhart. 2008. Theories of Public Organization. Thomson & Wadsworth. USA.Fifth Edition




2.                  bagaimanakah cara-cara Pendekatan Administrasi Pembangunan ?
jawaban:
Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat diketengahkan untuk mewakili banyak pandangan
mengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika, yaitu (1) pendekatan teleologi, dan (2) pendekatan deontologi.
Pertama, pendekatan teleologi. Pendekatan teleologi terhadap etika administrasi berpangkal tolak
bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yakni baik atau buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam konteks administrasi negara, pendekatan teleologi mengenai baik dan buruk ini, diukur antara lain dari pencapaian sasaran kebijaksanaan –
kebijaksanaan – kebijaksanaan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan
untuk mengikuti pendidikan, kualitas lingkungan), pemenuhan pilihan – pilihan masyarakat atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan kalau itu menjadi tujuan administrasi.
Pendekatan ini terdiri atas berbagai kategori, tetapi ada dua yang utama. Pertama adalah ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal disini adalah Niccolo Machaveavelli, seorang birokrat di Itali pada abad ke-15, yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar untuk seorang administrator pemerintah. Kedua adalah utilitarianism, yang pangkal tolaknya adalah prinsip kefaedahan (utility), yaitu mengupayakan yang terbaik untuk sebanyak – banyaknya orang. Prinsip ini sudah berakar sejak lama, terutama pada pandangan – pandangan abad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mills. Namun, di antara keduanya yaitu egoism dan utilitarianism, tidak terdapat jurang pemisah yang tajam karena merupakan suatu kontinuum, yang di antaranya dapat ditempatkan, misalnya, pandangan Weber bahwa
seorang birokrat sesungguhnya bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri pada waktu ia melaksanakan perintah atasanya, yang oleh Chandler (1994) disebut sebagai a disguise act of ego.
Namun, dapat diperkirakan bahwa dalam masa modern dan pasca modern ini pandangan utilitarianism
dari kelompok pendakatan teleologis ini memperoleh lebih banyak perhatian. Dalam pandangan ini yang amat pokok adalah bukan memperhatikan nilai – nilai moral, tetapi konsekuensi dari keputusan dan tindakan administrasi itu bagi masyarakat. Kepentingan umum (public interest) merupakan ukuran penting menurut pendekatan ini. Disini ditemui berbagai masalah, antara lain :
(1) Siapa yang menentukan apakah sesuatu sasaran, ukuran atau hasil yang dikehendaki didasarkan
kepentingan umum, dan bukan kepentingan si pengambil keputusan, atau kelompoknya, atau kelompok yang ingin diuntungkan.
(2) Di mana batas antara hak perorangan dengan kepentingan umum. Jika kepentingan umum mencerminkan dengan mudah kepentingan individu, maka masalahnya sederhana. Namun, jika ada perbedaan tajam antara keduanya, maka akan timbul masalah yang lebih rumit.
(3) Bagaimana membuat perhitungan yang tepat bahwa langkah – langkah yang dilakukan akan
menguntungkan kepentingan umum dan tidak merugikan. Hal ini penting karena kekuatan dari pendekatan (utilitarianism) ini adalah bahwa karena kekuatan dari pendekatan manfaat yang sebesar – besarnya dan kerugian yang sekecil – kecilnya, untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Atau dengan kata lain efisiensi. Salah satu jawaban yang juga berkembang adalah apa yang disebut pilihan (public choice) suatu teori yang berkembang atas dasar prinsip – prinsip ekonomi.
Pandangan ini berpangkal pada pilihan – pilihan perorangan (individual choices) sebagai basis dari langkah – langkah politik dan administratif. Memaksimalkan pilihan – pilihan individu merupakan pandangan teleologis yang paling pokok dengan mengurangi sekecil mungkin biaya atau beban dari tindakan kolektif terhadap individu. Konsep ini berkaitan erat dengan prinsip – prinsip ekonomi pasar dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dengan sendirinya akan ada konflik dalam pilihan – pilihan tersebut, dan bagaimana mengelola konflik – konflik itu merupakan tantangan pokok bagi administrasi dalam merancang dan mengelola badan – badan dan program – program publik. Tidak semua pihak merasa puas dengan pendekatan – pendekatan tersebut. Munculnya pandangan – pandangan mengenai etika administrasi menjelang akhir abad ke 20 ini justru berkaitan erat dengan upaya
menundukkan etika atau moral sebagai prinsip utama (guiding principles) dalam administrasi. Hal ini merupakan tema dari pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan deontologi.
Pendekatan ini berdasar pada prinsip – prinsip moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada
dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan atau tindakan yang dilakukan.
Asasnya adalah bahwa proses administrasi harus berlandaskan pada nilai – nilai moral yang mengikat.
Pendekatan inipun, tidak hanya satu garisnya. Yang amat mendasar adalah pandangan yang bersumber pada falsafah Immanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperatif dan kategoris, yang tidak membenarkan pelanggaran atasnya untuk tujuan apapin, meskipun karena itu masyarakat dirugikan atau jatuh korban.
Berbeda dengan pandangan Kantian tersebut, adapula pandangan relativisme dalam moral dan
kebudayaan, yang menolak kekuatan dan absolutism dalam memberi nilai pada moral. Menurut pandangan ini suatu peradaban atau kebudayaan akan menghasilkan sistem nilainya sendiri yang dapat tapi tidak harus selalu  sama dengan peradaban atau kebudayaan lain. Dari pokok pikiran tersebut berkembang pandangan – pandangan yang disebut situalionism yang bertentangan dengan paham
universalism. Situation ethics ini intinya adalah bahwa determinan dari moralitas yang ditetapkan senantiasa terkait dengan situasi tertentu. Dalam dunia praktik, yang menjadi dua administrasi, masukkan nilai – nilai moral ke dalam administrasi meruapakan upaya yang tidak mudah, karena harus mengubah pola pikir yang sudah lama menjiwai administrasi, seperti yang dicerminkan oleh paham utilitarianism. Oleh karena memang per definisi administrasi adalah usaha bersama untuk mencapai suatu tujuan, maka pencapaian tujuan itu merupakan nilai utama dalam administrasi selama ini. Selanjutnya, Fox (1994) mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontology dalam etika administrasi ini. Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembang konsep administrasi negara baru (antara lain Frederickson dan Hart, 1985). Seperti telah diungkapkan di atas, menurut pandangan ini administrasi Negara haruslah secara pro-aktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (Social equity). Pandangan ini tidak lepas dari pengaruh John Rawls (1971), dengan Theory of Justice-nya yang menjadi rujukan dari berbagai teori pemerataan dan keadilan sosial.
Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan. Sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, secara etika, administrasi harus membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi.
Pandangan ini cukup berkembang meskipun didunia akademik banyak juga yang mengkritiknya. Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara harus mengacu kepada nilainilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk pada konstitusi Amerika yang harus menjadi landasan etika administrasi dinegara itu. Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Denhardt, 1988, 1994). Pandangan ini berpendapat ada nilai-nilai moral yang bersifat universal yang menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalah disini adalah nilai-nilai moral itu sendiri banyak dipertanyakan karena beragam sumbernya dan juga beragam kebudayaan serta
peradabannya seperti telah diuraikan diatas. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini
berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi
terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rules),yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsifungsiserta prosedur, termasuk system insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Pandangan etika kebajikan bertumpu pada
karakter individu. Pandangan ini, seperti juga pandangan administrasi negara baru, bersumber dari konferensi Minnowbrook di New York pada akhir dasawarsa 1960- an, yang ingin memperbaharui dan merevitalisasi bidang studi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan inilah yang diharapkan dapat mengendalikan peran seseorang di dalam organisai sehingga pencapaian tujuan organisasi senantiasa
berlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Tantangan selanjutnya adalah menemukan apa saja nilai-nilai kebajikan itu, atau lebih tepatnya lagi nilainilai mana yang pokok (cardinal value), dan mana yang menjadi turunan (derivative) dari nilai-nilai pokok itu.

Selanjutnya administrator yang baik (virtuous administrator) adalah yang berusaha, seperti dikatakan
Hart (1994), agar kebajikan menjadi sentral dalam karakternya sendiri, yang akan membimbing perilakunya dalam organisasi. Tidak berhenti disitu saja, administrator yang baik berkewajiban moral untuk mengupayakan agar kebajikan juga menjadi karakter mereka yang bekerja dibawahnya. Namun, dinyatakannya pula bahwa kebajikan tidak bisa dipaksakan kepada yang lain karena kebajikan berasal dari diri masing – masing individu (voluntary observance). Ia menekankan bahwa virtue does not yield
to social engineering. Disini Hart mengetengahkan pentingnya pendidikan kebajikan sejak dini, serta
dilancarkannya kebijaksanaan program, praktik – praktik yang mendorong berkembangnya nilai – nilai kebajikan dalam organisasi. Akhirnya, yang teramat penting adalah keteladanan. Ia sendiri mengakui tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat kebajikan ideal, karena itu dalam etika kebajikan yang penting adalah proses untuk menginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya.


3.                  Apakah The Administration of Development

Ilmu Administrasi selalu mengikuti perkembangan zaman. Ilmu ini terus mengalami perubahan-perubahan, penyempurnaan-penyempurnaan dan bahkan juga penambahan cakupannya. Dalam artikel saya terdahulu, yang judulnya Bias Istilah Administrasi dan Manajemen, saya merumuskan definisi Administrasi adalah : proses penataan usaha yang timbul ketika sekelompok orang yang memiliki tujuan sama kemudian berinteraksi dalam suatu organisasi, melakukan kerjasama dengan menggunakan instrumen dan sumber yang mungkin terbatas. Dengan demikian, maka jika syarat-syarat seperti adanya sekelompok orang, penataan usaha, kerjasama dan tujuan tertentu sudah terpenuhi, maka segala kegiatan apapun itu bentuknya, sudah muncul apa yang disebut administrasi. Oleh karenanya cakupan pembelajarannya sangatlah luas. Namun dalam artikel ini, saya hanya akan mencoba mengulas sedikit mengenai pengertian Administrasi Pembangunan.  
4.                  Pengertian Administrasi Pembangunan. 
Sebelum memberikan definisi kerja dari administrasi pembangunan, Dr. S.P. Siagian, MPA, memisahkan pokok pengertian dari administrasi pembangunan. Menurutnya administrasi pembangunan meliputi dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Dalam bukunya yang berjudul Filsafat Administrasi, 1973:13, dia mengemukakan bahwa : “administrasi adalah  keseluruhan proses pelaksanaan daripada keputusan-keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya ditentukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.” 
Dan mengenai pembangunan, dalam bukunya yang berjudul “Administrasi Pembangunan”, SP. Siagian mendefinisikan sebagai: “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perobahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).”  
Dari definisi pembangunan menurut Siagian tersebut, maka jelas dapat kita lihat pokok-pokok ide yang tersurat, yaitu adanya suatu proses yang terus menerus, usaha yang dilakukan dengan perencanaan, orientasi pada perubahan yang signifikan dari keadaan sebelumnya, memiliki arah yang lebih modern dalam artian luas yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, memiliki tujuan utama untuk membina bangsa. 
Definisi kerja (working definition) dari Administrasi Pembangunan menurut Siagian adalah “seluruh usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk memperbaiki tata kehidupannya sebagai suatu bangsa dalam berbagai aspek kehidupan bangsa tersebut dalam rangka usaha pencapaian tujuan yang telah ditentukan.” 
Namun sekedar perbandingan untuk dapat memberikan rumusan definisi mengenai administrasi pembangunan yang mudah diingat tanpa mengurangi unsur yang ada, ada baiknya apabila kita juga melihat pendapat dari para cendekia yang lain. 
Menurut Paul Meadows dalam bukunya “Motivation For Change and Development Administration, 1968:86 mendefinisikan :”Development administration can be regarded as the public management of economic and social change in term of deliberate public policy. The development administrator is concerned with guiding change.”
Kurang lebih artinya sebagai berikut : Administrasi Pembangunan dapat didefinisikan sebagai kegiatan mengatur masyarakat dibidang ekonomi dan perubahan sosial dalam hal menetapkan kebijakan publik. Administrator pembangunan mempunyai kaitan dengan memandu perubahan yang dimaksud. 
Hiram S. Phillips mengemukakan bahwa :“The term of Development Administration is used ….. rather than the traditional term of Public Administration to indicate the need for a dynamic process designed particularly to meet requirements of social and economics changes.”
Kurang lebih maksudnya adalah :“Istilah Administrasi Pembangunan digunakan ….. berbanding dengan istilah Administrasi pemerintahan yang tradisional untuk menandai adanya kebutuhan akan suatu proses yang dinamis, terutama sekali merancang untuk menemukan kebutuhan berkaitan dengan perubahan sosial dan ekonomi.” 
Edward W. Weidner lebih spesifik merumuskan sebagai berikut :“Development administration is defined as administrative development and the administration of development programmes. For the administration of the development, it is necessary that the administrative machinery itself should be improved and developed to enable a well coordinated and multi functional approach towards solving national problem on development.”Kurang lebih arti dalam bahasa Indonesianya adalah:“Administrasi Pembangunan menggambarkan sebagai suatu  pengembangan yang administratif dan administrasi dalam program pengembangan. Karena administrasi menyangkut pengembangan, maka perlu bahwa perangkat yang administratif sendiri harus ditingkatkan dan dikembangkan agar memungkinkan dalam mengkoordinir dan melakukan pendekatan multi fungsional ke arah pemecahan masalah nasional pada dalam pembangunan.” 
Bintoro Tjokroamidjojo dalam bukunya Pengantar Administrasi Pembangunan mengemukakan bahwa:“Proses pengendalian usaha  (administrasi) oleh negara/pemerintah untuk merealisir pertumbuhan yang direncanakan ke arah suatu keadaan yang dianggap lebih baik dan kemajuan di dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.” 
Dari beberapa definisi tersebut, terdapat kesamaan ide pokok, yaitu :
Adanya suatu proses. Proses disini berarti suatu usaha yang dilakukan secara terus menerus.
Adanya administrator, dalam hal ini adalah pemerintah atau negara.
Adanya masyarakat.
Perubahan dan Modernisasi. Yang maksudnya adalah keinginan perubahan kearah yang lebih baik yang multi dimensi, dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan dan juga administrasi.
 Maka, dengan berpedoman dan tanpa menghilangkan ke 4 (empat) pokok pemikiran diatas, maka penulis mencoba merumuskan definisi mengenai Administrasi Pembangunan dalam rangka mempermudah pemahamannya.  
Administrasi Pembangunan menurut penulis adalah :“Proses yang dilakukan oleh Administrator dalam upaya mendorong masyarakat kearah modernisasi yang multi-dimensional secara administratif.”




5.                  Apakah cakupan dari The Development of Administration ?
Jawab :
Salah satu cakupan dari The Development of Administration  adalah reformasi administrasi.
Definisi reformasi administrasi
Reformasi administrasi menurut Lee dan Samonte (Nasucha, 2004) merupakan perubahan atau inovasi secara sengaja dibuat dan diterapkan untuk menjadikan sistem administrasi tersebut sebagai suatu agen perubahan sosial yang lebih efektif dan sebagai suatu instrumen yang dapat lebih menjamin adanya persamaan politik, keadaan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut Khan (Guzman et.al., 1992), reformasi administrasi adalah usaha-usaha yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem birokrasi negara yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku, dan struktur yang telah ada sebelumnya.
Caiden (1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi administrasi merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau transformasi di bidang administrasi. Sedangkan Quah (Nasucha, 2004) menyatakan bahwa reformasi administrasi publik merupakan suatu proses untuk mengubah struktur ataupun prosedur birokrasi publik yang terlibat dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan mencapai tujuan pembangunan nasional.
Mariani (Caiden, 1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai
La reforme administrative doit tendre a doter le Pays d’une administration qui, tout en garantissant a son personnel le benefice des lois sociales, agira avec le maximum d’efficacite et de celerite, aux moindres frais pour le contribuable, en imposant au public le minimum de gene et de formalites
Reformasi administrasi harus bertujuan untuk membawa administrasi dalam suatu negara selain memberikan jaminan hukum bagi para pegawai dalam pelaksanaan tugasnya, juga memberikan tingkat kepastian hukum dan kecepatan pelayanan yang maksimal, menimbulkan biaya yang minimal kepada para wajib pajak, dan pada saat yang bersamaan meminimalkan ketidaknyamanan dan formalitas terhadap publik. Plowden (Guzman, 1992) menyatakan bahwa reformasi administrasi adalah meningkatkan dan membuat administrasi menjadi lebih profesional. Sedangkan UN DTCD (Guzman, 1992) menyatakan reformasi administrasi merupakan penggunaan kekuasaan dan pengaruh dalam menetapkan ukuran yang baru bagi sistem administrasi sehingga mereka akan merubah tujuan, struktur dan prosedur sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan. Finan (Caiden, 1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai segala macam bentuk pengembangan administrasi (all improvements in administrations). Sedangkan Siegel (Caiden, 1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai perubahan atau perombakan secara besar-besaran terhadap administrasi dalam kondisi yang sulit.
Caiden (Zauhar, 2002) dengan jelas membedakan antara reformasi administrasi (administrative reform) dan perubahan administasi (administrative change). Perubahan administrasi diberi makna sebagai respon keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi. Lebih lanjut dikatakan bahwa munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi sebagai akibat adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya perubahan administrasi yang alamiah ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi. Caiden (1991) juga menyatakan bahwa reformasi administrasi sebagai upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kinerja (performance) dan kegiatan untuk melakukan perbaikan atas kesalahan yang dilakukan (correction of wrongdoing).
Sebuah seminar tentang administrative reform and innovations yang diselenggarakan oleh pemerintah Malaysia bekerja sama dengan Eastern Regional Organizational for Public Administration (EROPA) telah menyepakati bahwa reformasi administrasi tidak hanya diartikan sebagai perbaikan struktur organisasi, akan tetapi meliputi pula perbaikan perilaku orang yang terlibat di dalamnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah:
1. Struktur dan prosedur birokrasi
2. Sikap dan perilaku birokrat, guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Dari berbagai definisi reformasi administasi tersebut, dapat ditarik beberapa poin penting antara lain: reformasi administrasi disinonimkan dengan perubahan (change), memiliki hubungan yang sangat erat dengan inovasi (innovation), agar reformasi administrasi ini dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan perubahan secara sistemik dan bersifat luas, faktor utama dilakukannya reformasi administrasi adalah cepatnya perubahan lingkungan sistem administrasi, dan tujuan dari reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Berdasarkan beberapa pengertian reformasi administrasi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa reformasi administrasi merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terencana dan terus-menerus di segala aspek administrasi yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja administrasi.




8. Tujuan reformasi administrasi
Mosher (Leemans) berpendapat bahwa tujuan dari reformasi administrasi adalah merubah kebijakan dan program, meningkatkan efektivitas administrasi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan melakukan antisipasi terhadap kritikan dan ancaman dari luar. Menurut Caiden (1969), tugas dari para pelaku reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan kinerja administrasi bagi individual, kelompok, dan institusi dan memberikan masukan tentang cara-cara yang dapat ditempuh untuk dapat mencapai tujuan dengan lebih efektif, ekonomis dan lebih cepat. Dror (Zauhar, 2002) berpendapat bahwa reformasi pada hakekatnya merupakan usaha yang berorientasi pada tujuan yang bersifat multidimensional.
Terdapat 6 (enam) tujuan reformasi yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, tiga tujuan reformasi bersifat intra-administrasi yang ditujukan untuk menyempurnakan administrasi internal dan tiga tujuan reformasi lainnya berkenaan dengan peran masyarakat di dalam sistem administrasi.

Tujuan internal reformasi administrasi yang dimaksud meliputi:
1. Efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi dan kegiatan organisasi metode yang lain.
2. Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, pilih kasih dan sistem teman dalam sistem politik dan lain-lain.
3. Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian PPBS, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah dan lain-lain.

Sedangkan tiga tujuan lain yang berkaitan dengan masyarakat adalah:
1. Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat.
2. Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti misalnya meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan.
3. Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan.

Pollitt (2003) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan untuk melakukan reformasi antara lain:
1. Penghematan (to save money)
Terjadinya krisis ekonomi yang melanda dunia yang memaksa pemerintah untuk melakukan gerakan pemangkasan anggaran (scissors movement). Pemangkasan anggaran ini dilakukan karena meningkatnya dana yang dikeluarkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (welfare cost) sedangkan kesempatan untuk menarik pajak baru dari masyarakat menipis. Pemangkasan pengeluaran publik merupakan agenda utama dari pemerintah.
2. Keinginan untuk memperbaiki kinerja sektor publik. Beberapa pejabat politik dan pejabat pemerintah percaya bahwa dengan meningkatkan kinerja sektor publik, dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan legitimasi pemerintah. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kualitas layanan dan produktivitas.
3. Menemukan mekanisme baru bagi akuntabilitas publik, hal ini disebabkan adanya berbagai pola berbeda yang digunakan pejabat pemerintah dan aktor politik dalam melakukan pertanggungjawaban terhadap publik.

Sedangkan Hahn Been Lee (Zauhar, 2002) berpendapat bahwa terdapat tiga tujuan dilakukannya reformasi administasi antara lain:
1. Penyempurnaan Tatanan (improved order)
Keteraturan atau order merupakan kebajikan yang melekat dalam pemerintahan. Apabila yang ingin dituju adalah penyempurnaan tatanan, mau tidak mau reformasi harus diorientasikan pada penataan prosedur dan kontrol. Yang sangat diperlukan oleh administrator dalam era baru ini adalah menghadang agen pembaru. Sebagai konsekuensi logisnya maka birokrasi yang kokoh dan tegar perlu segera dibangun. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan tatanan disebut dengan reformasi prosedural (procedural reform).
2. Penyempurnaan Metode (improved method)
Penyempurnaan yang dilakukan adalah dalam bidang teknis dan metode kerja. Teknik dan metode yang baru ini dapat dikatakan bermanfaat bila bisa mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas. Apabila tujuan dari reformasi administrasi diartikulasikan dengan baik dan secara efektif diterjemahkan ke dalam berbagai program aksi yang nyata, penyempurnaan metode akan memperbaiki implementasi program, yang pada akhirnya akan meningkatkan realisasi pencapaian tujuan. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan metode disebut dengan reformasi teknis (technical reform).
3. Penyempurnaan Kinerja (improved permormance)
Penyempurnaan kinerja lebih bernuansa tujuan dalam substansi program kerjanya dari pada penyempurnaan keteraturan maupun penyempurnaan metode teknis administratif. Fokus utamanya adalah pada pergeseran dari bentuk ke substansi, pergeseran dari efisiensi dan ekonomis ke efektifitas kerja, pergeseran dari kecakapan birokrasi ke kesejahteraan masyarakat. Tipe reformasi yang dilakukan dengan penyempurnaan kinerja disebut dengan reformasi program (programmatic reform).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tujuan reformasi administrasi adalah untuk meningkatkan kinerja (performance) organisasi.
Bagaimanakah teori dan konsep dalam pembangunan ?
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehi­dupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran ter­sebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara kese­luruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan se­cara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan seba­gai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkat­an dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsi­kan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de­ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah­kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Admi­nistrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemam­puan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kuali­tatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak ha­rus terjadi dalam pembangunan.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangun­an. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/per­luasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.
Dari sejarah perubahan dalam mengkonseptualisasikan pembangunan, terdapat berbagai variasi cara mendefinisikan pembangunan. Mula-mula pembangunan hanya diartikan dalam arti ekonomi, namun berkembang pemikiran, bahwa pembangunan tidak hanya diartikan dalam arti ekonomi, tetapi pembangunan dilihat sebagai suatu konsep yang dinamis dan bersifat multidimensional atau mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti; ekonomi, politik, sosial budaya, dan sebagainya.
Berbagai istilah yang sering digunakan saling bergantian dalam menjelaskan pengertian pembangunan, seperti; perubahan, pertumbuhan, kemajuan, dan modernisasi. Akan tetapi istilah-istilah tersebut tidak sama makna dari arti pembangunan, karena pembangunan merupakan rujukan semua yang baik, positif, dan menyenangkan. Sementara perubahan, pertumbuhan, kemajuan, maupun modernisasi dapat saja terjadi tanpa unsur pembangunan.
Dilihat dari arti hakiki pembangunan, pada dasarnya menekankan pada aspek nilai-nilai kemanusiaan, seperti; menunjang kelangsungan hidup atau kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, harga diri atau adanya perasaan yang layak menghormati diri sendiri dan tidak menjadi alat orang lain, kebebasan atau kemerdekaan dari penjajahan dan perbudakan. Selain itu, arti pembangunan yang paling dalam adalah kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya, yang mencakup; kapasitas, keadilan, penumbuhan kuasa dan wewenang, dan saling ketergantungan.
Pengertian pembangunan sebagai suatu proses, akan terkait dengan mekanisme sistem atau kinerja suatu sistem. Menurut Easton (dalam Miriam Budiardjo, 1985), proses sistemik paling tidak terdiri atas tiga unsur: Pertama, adanya input, yaitu bahan masukan konversi; Kedua, adanya proses konversi, yaitu wahana untuk ”mengolah” bahan masukan; Ketiga, adanya output, yaitu sebagai hasil dari proses konversi yang dilaksanakan. Proses sistemik dari suatu sistem akan saling terkait dengan subsistem dan sistem-sistem lainnya termasuk lingkungan internasional.
Proses pembangunan sebagai proses sistemik, pada akhirnya akan menghasilkan keluaran (output) pembangunan, kualitas dari output pembangunan tergantung pada bahan masukan (input), kualitas dari proses pembangunan yang dilaksanakan, serta seberapa besar pengaruh lingkungan dan faktor-faktor alam lainnya. Bahan masukan pembangunan, salah satunya adalah sumber daya manusia, yang dalam bentuk konkritnya adalah manusia. Manusia dalam proses pembangunan mengandung beberapa pengertian, yaitu manusia sebagai pelaksana pembangunan, manusia sebagai perencana pembangunan, dan manusia sebagai sasaran dari proses pembangunan (as object).
Secara ilmu, pembangunan ekonomi, politik dapat diklasifikasi secara sosiologis ke dalam tiga kategori. Pertama, masyarakat yang masih bersifat tradisional; kedua adalah masyarakat yang bersifat peralihan; dan ke tiga adalah masyarakat maju. Ke tiga kategori tersebut saling berkaitan, karena berada dalam satu negara. Semua negara di dunia masih mempunyai tiga kategori tersebut, meskipun dalam negara modern sekalipun. Hanya dalam negara maju lebih mempunyai kondisi sosial yang stabil, bila dibandingkan dengan kategori dari yang pertama dan ke dua.
B. Teori Pembangunan
Sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teori-teori pembangunan dikelompokkan atas tiga, yaitu; kelompok Teori Modernisasi, kelompok Teori Ketergantungan, dan kelompok Teori Pasca-Ketergantungan.
Dalam Teori Modernisasi, teori Harrod-Domar melihat masalah pembangunan pada dasarnya adalah masalah kekurangan modal. Berbeda dengan teori Rostow, yang melihat pembangunan sebagai proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju.
Rostow membagi proses pembangunan menjadi lima tahap, yaitu; masyarakat tradisional, prakondisi untuk lepas landas, lepas landas, menuju ke dewasaan, dan zaman konsumsi massal yang tinggi.
Teori Modernisasi mendapat kritikan dari Teori Ketergantungan. Andre Gunder Frank melihat hubungan dengan negara metropolis selalu berakibat negatif bagi negara satelit. Berbeda dengan pandangan Dos Santos, yang melihat ketergantungan negara satelit hanya merupakan bayangan dari negara metropolis. Artinya, perkembangan negara satelit tergantung dari perkembangan negara metropolis yang menjadi induknya. Demikian sebaliknya, krisis negara metropolis, negara satelitnya pun kejangkitan krisis.
Adapun bentuk ketergantungan terdiri atas tiga; ketergantungan kolonial, ketergantungan finasial-industrial, dan ketergantungan teknologis-industrial.
Selanjutnya, Teori ketergantungan mendapat kritik, misalnya dari Teori Artikulasi dan Teori Sistem Dunia. Kedua teori ini merupakan dua teori baru dalam kelompok teori-teori pembangunan, khususnya dalam kelompok Teori Pasca-Ketergantungan. Teori Artikulasi menekankan pada konsep formasi sosial yang dikaitkan dengan konsep cara produksi. Adapun Teori Sistem Dunia melihat bahwa dinamika perkembangan dari suatu negara sangat ditentukan oleh sistem dunia.
C. Pendekatan dan Indikator Pembangunan
Terdapat berbagai pendekatan dan upaya untuk mengukur hasil pembangunan. Salah satu yang paling luas digunakan adalah pendekatan pertumbuhan ekonomi, dengan menggunakan PNB atau PDB sebagai kriteria ukuran keberhasilan pembangunan. Namun, muncul pendekatan pemerataan sebagai reaksi terhadap pendekatan pertumbuhan ekonomi, karena pendapatan tidak merata pada seluruh penduduk. Secara sederhana pemerataan diukur dengan berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 40 persen kelompok bawah, berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok menengah, dan berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 20% kelompok atas. Indeks Gini merupakan salah satu cara yang biasa digunakan untuk mengukur ketimpangan pembagian pendapatan masyarakat.
Pendekatan kebutuhan dasar adalah salah satu cara lain untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan. Indikator yang biasa digunakan adalah Indeks Mutu Kehidupan Fisik atau Physical Quality of Life Index (PQLI). PQLI mengukur tiga komponen, yaitu; harapan hidup, kematian bayi, dan melek huruf. Kemudian Sajogyo dan Abustam mencoba menambahkan satu komponen dari IMH tersebut, yaitu Total Fertility Rate (TFR), yang dinamakan IMH-plus atau IMH berkomponen empat.
Terakhir, pendekatan pembangunan sumber daya manusia adalah suatu model pembangunan yang mencoba meletakkan diri manusia sebagai unsur mutlak dalam proses pembangunan. Tujuan utama pembangunan manusia adalah memperluas pilihan-pilihan dan membuat pembangunan lebih demokratis dan partisipatoris. Salah satu indikator yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia. Indeks ini menggabungkan pendapatan nasional dan dua indikator sosial, yakni melek huruf dan harapan hidup. Jadi bedanya dengan indeks mutu manusia adalah dimasukkannya pendapatan nasional.
Contoh pembangunan yang sangat diperlukan dalam pembangunan di indonesia adalah salah satu contohnya pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat adalah perubahan secara berencana dan dilakukan secara berencana pula dari keadaan yang kurang baik, menuju pada keadaan yang lebih baik. Pembangunan masyarakat ini, meliputi dua dimensi utama, yakni dimensi struktural “vertikal”, dan dimensi “horisontal”.
Model pembangunan ini bertujuan untuk membatasi kesenjangan dalam masyarakat, agar lebih memungkinkan terjadinya proses partisipasi (empowerment). Hal ini diharapkan terjadi agar tercipta peluang kepada anggota masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi, prakarsa maupun kreativitasnya untuk memperkuat solidaritas dan persatuan nasional.
Ciri-ciri model pembangunan, antara lain; bertolak dari konsep komunitas; menganut prinsip distribusi kekuasaan yang merata; mengutamakan distribusi pelayanan yang merata kepada segenap anggota komunitas; pelaksanaan kegiatan dalam pembangunan berdasarkan pada pendekatan program; peranan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan, lebih berperan sebagai fasilitator; penekanan kegiatan pada aspek dapat lebih untuk memandirikan masyarakat (mengutamakan aspek pendidikan dalam arti luas); program kegiatannya berkesinambungan (berkelanjutan) antara satu periode ke periode berikutnya.
Beberapa Teori Pembangunan Masyarakat
Teori pembangunan masyarakat mencakup tiga pembahasan utama, yakni teori pembangunan masyarakat sebagai proses; teori pembangunan masyarakat sebagai cara (metode); dan teori yang berkaitan dengan peranan program di dalam pembangunan masyarakat. Teori pembangunan masyarakat sebagai proses, berlandaskan pada pendekatan sistem dalam pengelolaan pembangunan. Sistem adalah suatu kesatuan utuh yang terdiri dari berbagai bagian, di mana bagian tersebut saling berinteraksi satu sama lain.
Bagian-bagian yang ada dalam teori pembangunan masyarakat sebagai proses, yakni input (masukan), proses konversi, dan output (luaran). Input yang berasal dari lingkungan (lingkungan fisik dan sosial), selanjutnya dikonversi untuk dijadikan sebagai output proses pembangunan. Ada satu tahap yang sangat penting pula dalam pendekatan ini, yakni proses umpan balik (feed back) dari output menjadi input kembali.
Teori pembangunan masyarakat sebagai metode, yang diuraikan di sini adalah teori tentang partisipasi masyarakat. Teori menghendaki bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan, tidak hanya bersifat keikutsertaan secara fisik dalam kegiatan pembangunan, tetapi yang lebih penting bagaimana melibatkan masyarakat secara mental yang disertai motivasi dalam program pembangunan. Ini sebabnya dalam kegiatan belajar ini, diutarakan beberapa metode yang terbukti telah efektif dalam memobilisasi peranserta masyarakat dalam berbagai pembangunan masyarakat. Keberadaan suatu program pembangunan masyarakat di suatu komunitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara umum. Pada bagian terakhir kegiatan belajar ini, diuraikan tentang substansi program dan tahap-tahap dalam penyelenggaraan pembangunan masyarakat.
Teori Sumber daya manusia memandang mutu penduduk sebagai kunci pembangunan dan pengembangan masyarakat. Banyak penduduk  bukan beban pembangunan bila mutunya tinggi. Pengembangan hakikat manusiawi hendaknya menjadi arah pembangunan. Perbaikan mutu sumber daya manusia akan menumbuhkan inisiatif  dan kewirausahaan. Teori sumber daya manusia  diklasifikasikan  kedalam teori yang menggunakan pendekatan yang fundamental.
Community development juga bisa didefinisikan  sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak  keutuhan komunitas dalam proses perubahannya. Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik: terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan  bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas.
Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah satu model pendekatan pembangunan  (bottoming up approach)  merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. Dan dalam pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan bahwa masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang kemungkinan sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.
Adapun pertimbangan dasar dari pengembangan masyarakat adalah yang pertama, melaksanakan perintah agama untuk membantu sesamanya dalam hal kebaikan. Kedua, adalah pertimbangan kemanusiaan, karena pada dasarnya  manusia itu bersaudara. Sehingga pengembangan masyarakat mempunyai tujuan untuk membantu meningkatkan kemampuan masyarakat, agar mereka dapat hidup lebih baik dalam arti mutu atau kualitas hidupnya.
Secara umum ada beberapa pendekatan dalam pengembangan masyarakat, diantaranya adalah:
Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat.
Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan.
Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya.
Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
Pendekatan politik.
Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pndataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian  dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain).
Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat
Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan
Penggunaan indikator dan variabel pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan pedesaan, dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-faktor   sekunder dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :
1.       Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
2.       Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak , kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
3.       Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.
4.       Angka Tabungan
Perkembangan sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
5.       Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.
6.       Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.
Tujuan akhir dari pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam arti luas (kesejahteraan lahir mapun bathin). Kesejahteraan lahir akan terkait dengan tingkat kehidupan baik yang menyangkut ekonomi maupun strata sosial, sementara kesejahteraan bathin akan berkaitan dengan believe system yang ada pada dirinya. Bagaimana manusia memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance) serta bagaimana cara dia mengaktualisasikan dirinya (self actualization) sehingga merasa puas (satisfaction). Dalam dunia Pewayangan sering ada pertanyaan “Urang teh ti mana ?, eukeur naon ?, bade kamana ?”. Hal ini senada dengan ajaran Islam yang membagi kehidupan manusia meliputi “Alam arwah, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat”. Manusia sejahtera secara bathin bila “konsep dirinya merasa puas serta memahami tugas  dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi”.  Sebagai khalifah mempunyai tugas memelihara bumi ini agar tidak terjadi kerusakan, dan fungsinya untuk menjaga keseimbangan alam melalui akal dan pikitran serta nuraninya  (qolbu), sehingga alam berfungsi sebagaimana mestinya.
Demi kelangsungan hidupnya manusia selalu berupaya memenuhi kebutuhan diri serta mengatasi tantangan dan hambatan lingkungan alam dan sosialnya. Untuk itu selalu berupaya melakukan penciptaan-penciptaan (kreativitas) yang mengkristal menjadi kebudayaan. Pembangunan pada intinya merupakan penciptaan-penciptaan dalam memenuhi tuntutan hidup dan mengatasi tantangan lingkungan alam dan sosial. Seperti penciptaan kegiatan lapangan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, penciptaan  pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan daya nalar dan kreativitas agar terjadi akulturasi kebudayaan yang tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah berkembang.
Pada saat ini, indikator keberhasilan pembangunan terdiri atas bagaimana tingkat pengembangan sumber daya manusia (Indeks Pembangunan Manusia/ human development index/HDI), tingkat pencapaian ekonomi dan tingkat keseimbangan alam (ekosistem). Ketiga aspek tersebut memiliki keterkaitan dan ketergantungan (interrelasi dan interdependensi). Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks dari angka harapan hidup (AHH), angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), Angka Melek Hurup (AMH), dan kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP). Sementara tingkat pencapaian ekonomi meliputi Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), inplasi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dengan sembilan lapangan usahanya (pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan, pertambanagn-penggalian, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih, bangunan, perdagangan-hotel-restran, penganggkutan-komunikasi, keuangan-persewaan-jasa perusahaan-dan jasa-jasa lainnya. Keseimbangan alam dan lingkungan berkaitan dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP), pelestarian lingkungan hidup (hewani-hayati), serta tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan (polusi udara, air, tanah) yang secara nyata berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat.
Terkait dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ada tiga bidang yang terkait didalamnya yaitu bidang pendidikan, kaitan dengan capaian Angka Melerek Hurup (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), bidang kesehatan kaitan dengan Angka Harapan Hidup (AHH) dan bidang ekonomi kaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat (PPP). Walaupun AMH dan RLS belum menggambarkan kualitas pendidikan secara menyeluruh, tapi itulah yang disepakati dunia internasional sebagai indikator, dalam hal ini yaitu UNDP. Permasalahan dan tugas kita adalah bagaimana kita merancang pembangunan agar indikator tersebut dapat diraih dengan penekanan pada kualitas pendidikan. Inti dari proses pendidikan adalah tansfer of knowledge and transfer of value. Selain memenuhi standar tersebut, maka kita perlu memikirkan bagaimana proses pendidikan berjalan dengan pemerataan kesempatan menuju indikator RLS, kita pikirkan juga bagaimana kualitas proses dalam melakukan tansfer of knowledge dan transfer of value-nya serta muatan nilai-nilai seperti apa yang disampaikan sehingga pada gilirannya dapat membentuk kualitas warga belajar/peserta didik yang  disatu sisi dapat mencerminkan budaya masyarakat setempat secara komunal, tetapi juga dapat mencerminkan komunitas modern yang senapas dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi internasional.
Untuk itu, mungkin fokus kita akan diarahkan kepada: (1) Pemerataan kesempatan belajar (dengan segala pola dan bentuknya), (2) kualitas proses belajar yang syarat  nilai-nilai (value), (3) Kualitas hasil dengan orientasi pada pembentukan sikap dan kebiasaan (habbit and attitude), yang pada gilirannya akan membentuk manusia yang berkarakter.
Dalam penangannya tentu tidak berdiri sendiri melainkan dikolaborasikan dengan sistem lain diantaranya dengan peningkatan pendapatan (ekonomi), memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, dengan peningkatan derajat kesehatan, serta membuka diri dengan sistem kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dikarenakan ketiga aspek tersebut di atas, memiliki interrelasi dan interdependensi, maka dalam perkembangannya harus seiring dan sejalan. Agar kondisi tersebut dapat dicapai maka perlu suatu kreativitas (melalui nalar, wawasan, pengetahuan, nurani, keyakinan-keimanan) sehingga melahirkan budaya baru dalam masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai dan falsapah kehidupan.
Oleh karena itu dalam implementasi (pelaksanaan) pembangunan akan banyak dipengaruhi oleh local community and environment, dalam arti pola dan bentuknya akan tergantung kepada masyarakat dan lingkungan lokal.
Hambatan-hambatan Dalam Pembangunan
Masyarakat yang terbelakang masih sangat tradisional sekali. Mereka masih terikat dengan nilai-nilai asli dan juga masih memiliki kerinduan untuk memelihara nilai-nilai tersebut. Biasanya selalu dikaitkan dengan kebudayaan atau adat istiadat lokal. Dalam masyarakat yang tradsional tidak memberikan peluang cukup untuk terjadinya perubahan-perubahan serta tumbuhnya kekuatan-kekuatan pembaharuan dalam masyarakat. Yang menyebabkan hal tersebut sangat kompleks sekali, seperti: kolonialisme dan feodalisme. Kondisi keterbelakangan juga dapat dilihat dari bidang ekonomi dan pendidikan. Penyebab utama untuk hal ini adalah adanya keterbatasan yang amat parah dalam pendapatan, modal dan ketrampilan. Hal tersebut juga menyebabkan kemiskinan masyarakat yang berkepanjangan.
Di Indonesia, hal itu disebabkan karena penyebaran penduduk yang tidak merata dan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi. Tingkat pendapatan buruh tani di pedesaan yang sangat rendah dan upah buruh di masyarakat industri yang belum mencapai UMR. Gulungtikarnya perusahaan-perusahaan besar telah menyebabkan angka pengangguran yang sangat tinggi. Ditambah lagi dengan oportunisme di kalangan elit politik, telah menyebabkan ketidak stabilan di bidang politik. Hal-hal ini telah menyebabkan terpuruknya ekonomi rakyat dan mempercepat pemerataan kemiskinan masyarakat Indonesia. Untuk perubahan sosial-ekonomi dibutuhkan aparatur negara yang bersih dan pendidikan masyarakat yang memadai.
Bagaimanakah Dimensi spasial dalam Administrasi Pembangunan ?
Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi pembangunan memiliki berbagai cara pandang atau pendekatan (Heaphy,1971). Pertama, menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bagi suatu kota, daerah, ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, ataupun wilayah sebagai suatu maujud bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah, ataupunwilayah yang lain, sehingga penekanan perencanaannya mengikuti pola yang lepas dan mandiri. Kedua, bahwa pembangunan di daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Perencaan pembangunan daerah, dalam pendekatan ini, merupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian pola pembangunan nasional. Ketiga, cara pandang yang melihat bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah instrumen bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kebijakan yang menyangkut dimensi ruang dalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Untuk itu, administrasi pembangunan dalam kaitannya dengan dimensi ruang dan daerah, harus dapat mencari jawaban tentang bagaimana pembangunan dapat tetap menjaga persatuan dan kesatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada daerah dan masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.
Pertama, regionalisasi atau perwilayahan. Artinya sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara. Kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalam penataan ruang. Hal ini pada intinya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisatoris/fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang. Ketiga, otonomi daerah. Masyarakat pada suatu negara tidak hanya tinggal dan berada dalam pusat pemerintahan, tetapi juga ditempat-tempat yang jauh dan terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan untuk meletakkan kewenangan pada masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip otonomi. Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan kesejahteraaan masyarakat di daerah menjadi lebih efektif. Keempat, yaitu partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem administrasi modern adalah bahwa pengambilan keputusan dilakukan sedapat-dapatnya pada tingkat yang paling bawah. Dalam hal ini masyarakat bersama-sama dengan aparatur pemerintah, menjadi stake holder dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi dari setiap upaya pembangunan. Kelima, sebagai impliksi dari dimensi administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan. Dari segi perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu daerah berbeda dengan daerah yag lainnya. Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensi pembangunan didaerah terutama dalam kebijaksanaan investasi sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi daerah.

Bagaimanakah Dimensi Pembangunan SDM ?
CIDA (Canadian International Development Agency) seperti dikutip oleh Effendi (1993) mengemukakan bahwa pengembangan sumber daya manusia menekankan manusia baik sebagai alat (means) maupun sebagai tujuan akhir pembangunan. Dalam jangka pendek, dapat diartikan sebagai pengembangan pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi segera tenaga ahli tehnik, kepemimpinan, tenaga administrasi.
Pengertian di atas meletakan manusia sebagai pelaku dan penerima pembangunan. Tindakan yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah memberikan pendidikan dan latihan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil. Dalam hal ini Effendi (1992) mengemukakan bahwa meskipun unsur kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembangan karir ditempat kerja, dan kehidupan politik yang bebas termasuk pendukung dalam pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan merupakan unsur terpenting dalam pengembangannya.
Demikian pula Martoyo (1992) mengemukakan bahwa setiap organisasi apapun bentuknya senantiasa akan berupaya dapat tercapainya tujuan organisasi yang bersangkutan dengan efektif dan efisien. Efisiensi maupun efektivitas organisasi sangat tergantung pada baik dan buruknya pengembangan sumber daya manusia/anggota organisasi itu sendiri. Ini berarti bahwa sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut secara proporsional harus diberikan pendidikan dan latihan yang sebaik-baiknya, bahkan harus sesempurna mungkin.
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukan dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumber daya manusia meliputi : unsur kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup sehat, pengembangan karir ditempat kerja, kehidupan politik yang bebas, serta pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, pendidikan dan pelatihan merupakan unsur terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia. Sesuai dengan kesimpulan ini, maka yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia melalui upaya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.
Mengenai arti pentingnya pengembangan sumber daya manusia Heidjrachman dan Husnan (1993) mengemukakan bahwa sesudah karyawan diperoleh, sudah selayaknya kalau mereka dikembangkan. Pengembangan ini dilakukan untuk meningkatkan keterampilan melalui latihan (training), yang diperlukan untuk dapat menjalankan tugas dengan baik. Kegiatan ini makin menjadi penting karena berkembangnya teknologi dan makin kompleksnya tugas-tugas pimpinan.
Hingga hasil temuan dari Taylor sebagai bapak Scientific Management, orang masih beranggapan bahwa pengembangan pegawai bukanlah tugas dari para pimpinan. Pendapat yang demikian itu, dalam praktek dewasa ini masih dianut oleh segolongan pemimpin terlebih-lebih mereka yang belum menyadari betapa peranan pengembangan pegawai itu sebagai salah satu cara terbaik untuk merealisir tujuan organisasi yang dipimpinnya.
Untuk bahagian yang lebih besar, para pemimpin dewasa ini telah menyadari bahwa merupakan tugas mereka untuk mengembangkan bawahannya. Jadi dengan demikian jelaslah perkembangan seorang pegawai dalam suatu organisasi banyak ditentukan oleh pimpinan atau atasan.
Bahkan pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (1993) bahwa baik untuk menghadapi tuntutan tugas sekarang maupun dan terutama untuk menjawab tantangan masa depan, pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak.