Kamis, 22 September 2011

mengAMBIL hikmah dari laonta sang tukang cukur sejati


Alhamdulillah tibalah saatnya menyambut pagi hari yang sangat menyegarkan jiwa oleh pancanaran sinar mentari pagi. Pagi itu aku baru aja pulang dari laut, mencari kepiting untuk buka puasa nanti. Maklum hari ini aku pikir setelah 4 tahun meninggalkan jaring kepiting, tiba-tiba aku merasa rindu untuk kelaut lagi. Sore hari kemarinnya aku udah menyegarkan badan dengan mengajak adikku yang baru duduk di kelas 1 MTsN kelaut memancing ikan.
Pagi itu sangat meriah apalagi ditambah kehadiran salah seorang ahli cukur rambut Kampung, yah maklumlah tukang cukur rambut ini telah terkenal di seantero kampung untuk mencukur rambut. Sekali mencukur biasa orang memberinya Cuma 5000 rupiah. Lebih murah, simple, dan mrenyenangkan enak diajak cerita sambil mencukur rambut.
Jiwa nasionalisme sang tukang cukur ini sangat luarbiasa, menggugah perasaanku seolah aku merasa kalah dengan dirinya. Meski secara teori aku mengerti betul tentang teori bahkan sejara nasionalisme di Indonesia, tapi secara praktek kayaknya aku kalah dibanding dirinya yang bukan hanya dari sudut pandang teori tapi sekiranya praktek yang dengan bangganya memperkenalkan bahwa bulan ini adalah bulan Agustus yang setiap warga Negara, siapapun itu tanpa pandang bulu wajib memperingati 17 agustus yang akan berlangsung sekitar 2 hari lagi.
Dengan berpakain ala militer bekas pakaian pensiunan tentara, dipakainya begitu bangga dengan pernak-pernik stiker yang bertuliskan “Indonesiaku”dan “Presidenku”di kantonhg kanan dan kirinya serta di perhelangan tangan dijahitnya lambang bendera kebangsaan”Merah Putih”. Inilah sang lelaki yang sangat nasionalis terhadap Negaranya Indonesia yang biasa dipanggil dengan sebutan nama “LAONTA”.
Konon, lelaki yang Lulusan SMEA bau-bau ini, sejak rumahnya mengalami kebakaran dan Ijazahnya terbakar. Ia scara Psikologis mengalami kelainan jiwa. Entah apakah itu benar atau tidak. Tapi penampilannya menandakan seperti itu. Saya sempat berfikir, pantas juga dia menga;lami depresi semacam itu mengingat disitulah tempat tumpuhan harapan serta kasih sayangnya. Ditambah lagi dia memiliki 2 orang anak yang menjadi beban pikirannya mengingat kelak kedua anaknya ini pasti menganjak dewasa butuh sebuah perjuangan yang penuh untuk menghidupi mereka.
Namun bagi saya secara pribadi, jika memang mengalami musibah yang sangat besar, setidakya dia punya kekuatan psikologi sebagai laki-laki yang mampu menahan berbagai amarah atau mampu mengedalikan diri dengan bersabar, sebab kesabaran itu merupakan kata kunsi untuk menuju kegerbang yang baru dalam sebuah kehidupan yang nyata. Cek per cek ternyata  penyebab ia mengalami goncangan jiwa yang berat diakibatkan oleh terbakarnya ijazah yang dimilikinya. Ia pastii memikirkan  tentang kelanjutan hidup yang begitu sulit dalam menjalani kehidupan  Dan taku kehilangan mendapat pengakuan dalam masyarakat sebab kehilangan Ijazah.
Sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia yang baru-baru saja berlangsung diseluruh pelosok negeri, bahwa Ijazah memiliki peran penting dalam mencari nafkah hidup dalam hal ini bekerja membangun sebuah poeradaban bangsa, tanpa ijazah anda takkan mungkin diakui memiliki sebuah keahlian jika anda tidak punya Ijazah. Mungkin inilah yang dipikirkan tukuang cukur yang berjiwa Nasionalisme ini. Namun sekalipun sang tukang cukur ini berjiwa nasionalisme dia takkan lagi diakui oleh Negara memiliki ke ahlian memangkas rambut, sebab kejujuran dan kejernihan hati di Negara Indonesia tercinta tidak mendapat begitu pengakuan yang mantap dan akan tetap dianggap sampah jalanan yang mondar-mandir kesana-kesitu. Negara, tidak mau ambil pusing jika tidak memilki ijazah. Yang jelas ketika sang pemangkas rambut ini menjadi gembel dijalanan, Negara hanya menanggapinya bahwa sang tukang cukur ini tidak memiliki etos kerja yang tinggi, malas dan bahkan menjadi penghalang pembangunan saja.
2 minggu yang lalu, ketika baru saja pulang dari Makassar. Aku melaksanakan shalat jumat secara berjamaah. Maklum. Kali ini secara berjamaah mengingat beberapahari sebelumnya kebencianku terhadap sebagian sesama umat muslim membengkak. Sebab, kebanyakan para Umat Muslim, bagiku mereka tidak pernah memaknai semangat hari jumat itu sendiri.. Dengan tiap minggunya mendengarkan Khutbah pencerahan Imani tetap saja ketika bangsa ini dilanda cagut-marut semangat persatuan itu tidak ada. Hingga  aku putuskan untuk membenci sebagian umat Muslim dan melaksanakan shalat jumat sendirian. Secara  tidak langsung kebanyakan penganut Islam  saat ini menjadikan  agama  sebagai  alat penguasa yakni sebagai Idiologi politik untuk memprtahankan status kuo. Contoh yang paling riil di daerahku adalah seperti yang dilakukan oleh bupati buton untuk merekrut hati masyarakat, ia dengan bangganya membrikan bantun kepada Masjib Agung di kampungku sebesar 25 juta agar anaknya dapat terpilih sebagai bupati pada periode selanjutnya sesudah ia sendiri sebagai bupati yang telah habis masa periodenya dan akan lengser dari jabatannya. Padahal, selama ia memimpin daerah cagut marutnya minta ampun, tidak tertata secara baik.  Yang pastinya kekacauan tidak mampu dibahasakan. Namun, pada hari ini aku menyadari semua. Biarlah rakyat seperti ini, kelak pastinya para masyarakat akan menyadari akan ketertindasannya serta kebedohannya. Akupun merasa bahwa diriku telalu jauh saat ini serta telalu menganggab hebat,  aku terlalu merasa yang terbaik diantara mereka, aku berpikir bahwa jika aku meninggalkan tetap seperti ini dan tidak ada usaha merubahnya dari dalam artinya aku telah malalaikan tanggung jawabku sebagai manusia yang mencintai akan kejujuran dan kebenaran. Maka aku putuskan unutk kembali bersama-sama menunaikan shalat jum’at dengan beberapa warga di kampungku, lakudo yang tercinta.
 Seuasai shalat jum’at aku bertemu dengan salah seorang kawan yang bernam Fachruddin salah seorang Mahasiswa Universitas Haluholeo (UNHALU). Kami duduk bersama di depan teras mesjid  membincangkan tentang keresahan dengan realitas masyarakat yang terjadi hari akhir-akhir ini. Khususya kaum pemuda.
Di awal pembicaraan, kami mengawalinya tentang sebuah peristiwa yang sangat bertentangan dengan sebuah kasus, yang mana kasus ini mengandung sebuah tragedi dengan semakin banyaknya anak-anak muda yang semakin asik serta kecanduan dengan minuman keras, seks, ditambah lagi dengan hilangnya minat para pemuda dalam menghargai sebuah kebudayan daerah. Tapi, apakah budaya itu penting? tandasnya. Kenapa tidak penting, jawabku. Bukankah budaya sebagai mata rantai dalam menyambung hidup yang kemudian dari situ tercipta berbagai peradaban manusia yang kelak anak cucu kita akan memberikan tanggapan tentang kedidupannya saat ini. Sekiranya kalau kita menyadari tentang perjuang para leluhur , jiwa nasionalismenya sangat tinggi, tapi apa yang kita berikan pada para leluhur, kita membalas perjuangan para leluhur dengan sebuah pendustaan serta kebohongan belaka dengan berpura-pura mengadakan acara-acara yang menyangkut kedaerahan tapi makna dari pada symbol-simbol budaya itu tidak pernah untuk dieksplor serta diiplementasikan dalam realitas social. Pahahal, dalam penalaran logis, symbol-simbol itu tidaklah bertentangan dengan agama meski budaya ini sebelunya yang telah diwarisi beberapa generasi dibuat berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Dengan begitu dapatlah disimpulkan, jika adat kebudayaan itu dibuat dengan symbol-simbol budaya dengan pertimbangan kemanusiaan maka begitupun agama memunculkan dirinya berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Dengan ini dapatlah dikatakan adat budaya kita dan agama tidaklah bertentangan mengingat pertimbangan kemanusiaan tadi.
Dalam diskusi dengan fachrudin juga kami membahas tentang system pendidikan yang tengah terjadi di daerah kami khususnya di lakudo yang memiliki kamampuan tiap-tiap individu yang cerdas.
Lakudo, dalam sebuah sejarah masa silam merupakan sebuah daerah otonom kerajaam kesultaan buton. Keratonnya berdiri dii sekitar bukit gunung sebelah timur daya. Dalam sebuah ceritra dikatakan bahwa kerajaan lakudo merupakan salah satu tempat bala pusat para prajurit pertahanan kesultanan buton. Sampai saat ini, peninggalan-peninggalan masih menampakan bentuknya yang indah. Dengan dikelilingi benteng sebagai pembatasan benteng keraton. Dengan relief cagar bebatuan yang unik serta memgkinkan kebenarannya dalam sejarah seritra bahwa ia memiliki ketahanan dalam serangan apapun. Hingga  saat ini masih dihuni oleh beberapa orang  yang masih meneruskan tradsisi keraton, meskipun hanya beberapa orang saja. Itupun dilakukan dalam sebuah tradisi mistic. 
Jika kembali melirik sejarah perjuangan bangsa Indonesia secara umum dalam menghapus segala penindasan dipulau Indonesia(khususnta di Pulau Jawa), revolusi pendidikan itu kemudian mati ketika sitem pendidikan yang ditetarapkan adalah system poloitk etis(politik balas budi). Dalam system ini, dengan kelicikan kaum belanda berhasil menipu beberapa pelajar yang ada diIndonesia, sepanjang politik etis itu berlaku hanya ada tiga jurusan yang diberlakukan dalam system pendidikan yang ada di Indonesia, Yaitu: kesehatan, Tekhnik Mesin,dan pendidikan. Seiring berjalannya system ini ternyata tidak memberikan perubahan bagi bangsa Indonesia sebab tujuan diakdakan system ini hanya bertujuan unutk membantu para colonial saja dalam memperlancar penjajahannya di tanah Indonesia. Dengan pada itu, seirang berlalunya waktu, ditengah-tengah diberlakukannya politik lahirlah seorang Tokoh yang Bernama Bung Karno dkk. Yang kemudian dengan jiwa semangat nasionalisme beliau berhasil menghengkang kaum penjajah(belanda dan jepang )dari bumi kita tercinta, bangsa Indonesia.
Meski telah hengkangnya para penjajah dari tanah tanah air Indonesia, tapi system khususnya dalam hal pendidikan tidak pernah berubah. Perubahan dalam system pendidikan sempat kembali dirumbak, mengngiangat pada zaman soekarnao pemerintah paham betul dengan system penddidikan kolonial yang hanya menciptakan pemuda-pemuda yang tidak memiliki sumberdaya. Seirig perubahan politik yang cagut marut antara tahun 1965/66 era pemerintahan yang dikenal dengan Orde baru kembali menghiasi wajah pertiwi . kepemerintahan pada era orde baru diharapkan untuk kemudian  memperbaiki tatanan kondisi. Bahkan sebaliknya Negara semakin ambruk dengan diterapkannya system liberal yang berefek kepada peralihan pendidikan yang diarahkan untuk para setiap lulusan dapat menempati setiap peruasahaan, system disiplin nilai yang tinggi dan absensi kembali diberlakukan mengingat para pelajar terlalu banyak mencampuri urusan pemerintah. Yang pastinya, para pelajar memperbaiki nilai  dan berusaha mendapatkan Ijazah dan ijazah inilah yang menjadi alat untuk mencari nafkah, maka jangan heran istilah Plagiat telah merambat dengan  ganas di negeri ini. 
System inilah yang telah menjamur di daerahku. Para pelajar dengan semangat tinggi melanjutkan diberbagai daerah yang jauh dari tempat tinggal aslnya. Hasilnya adalah hanya untuk mencari ijazah agar memperoleh pengakuan dalam masyarakat. Tidak seperti laola yang tanpa mendapat pengakua oleh Negara. Dengan alasan yang sangat luhur ingin memperbaiki keadaan daerah, dengan tanpa disadari para pelajar kembali terjebak dalam system pendidikan yang cagut marut, yang mana system pendidikan itu kemudian tidak membentuk karakter dan jiwa Nasionalisme sang pelajar tapi menjadikannya menjadi tenaga-tenaga pengumpul nilai. Kalau saja para sarjana yang ada didaerahku saat ini mau merubah tatanan daerah saat,  maka tentu perubahan akan segera terasa dengan cepat. Tidak membutuhkan banyak orang , sebab, soekarno hanya butuh 10 orang pemuda, siapa bilang kitapun tidak mampu mengendalikan daerah ini. Namun kenyataannya, hadirnya para sarjana yang hampir mencapai 200-an di daerahku, malah menjadikan para penduduk merasa terasing dengan keadaan sekitarnya. Para sarjana, dengan bangganya menggandeng gelar yang disandangkan pada namanya, padahal secara tidak langsung mereka telah menghianati perjuangan para leluhur. Ternyata selama empat tahun pergi kuliah di negeri seberang bukan dengan niat mencari ilmu pengetahuan serta memperbaiki tatanan tetapi mencari nilai sebaik-baiknya yang kemudian nilai itu dijadikan sebagai prasarat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, sekali lagi ia telah lupa menyelamatkan rakyat ketika jaya malah sebaliknya hanya berusaha memperbaiki kehidupan sendiri.  Maka omong kosong berbicara rakyat hari ini, kalau para pelajar kuliah hanya untuk mencari Ijazah, jadi PNS, yang kemudian lupa mau berbuat apa untuk kemajuan daerah. Yang berkembang hanyalah wacana dengan pola bahasa serta gaya bicara yang halus serta sopan namun dibalik itu semua hanya menipu rakyat.
“Biarlah orang menganggab aku miskin serta tidak punya pendidikan yang tinggi hingga tidak memperoleh ijazah serta gelar yang membuat aku dihormati,
Tapi setidaknya aku sadar dengan kenyataan(realitas sosial) saat ini hingga aku merdeka dalam menjalani hidup
 dan mending hidup di rumah gubuk yang sangat kumuh daripada hidup dirumah mewah yang ditindas serta dikendalikan oleh system yang menjadikan kita penjilat dan lupa tentang eksistensi kita sebagai manusia di bumi”

Lakudo(kelurahan Wanepa-nepa)
15 agustus 2010,

Alhamdulillah tibalah saatnya menyambut pagi hari yang sangat menyegarkan jiwa oleh pancanaran sinar mentari pagi. Pagi itu aku baru aja pulang dari laut, mencari kepiting untuk buka puasa nanti. Maklum hari ini aku pikir setelah 4 tahun meninggalkan jaring kepiting, tiba-tiba aku merasa rindu untuk kelaut lagi. Sore hari kemarinnya aku udah menyegarkan badan dengan mengajak adikku yang baru duduk di kelas 1 MTsN kelaut memancing ikan.
Pagi itu sangat meriah apalagi ditambah kehadiran salah seorang ahli cukur rambut Kampung, yah maklumlah tukang cukur rambut ini telah terkenal di seantero kampung untuk mencukur rambut. Sekali mencukur biasa orang memberinya Cuma 5000 rupiah. Lebih murah, simple, dan mrenyenangkan enak diajak cerita sambil mencukur rambut.
Jiwa nasionalisme sang tukang cukur ini sangat luarbiasa, menggugah perasaanku seolah aku merasa kalah dengan dirinya. Meski secara teori aku mengerti betul tentang teori bahkan sejara nasionalisme di Indonesia, tapi secara praktek kayaknya aku kalah dibanding dirinya yang bukan hanya dari sudut pandang teori tapi sekiranya praktek yang dengan bangganya memperkenalkan bahwa bulan ini adalah bulan Agustus yang setiap warga Negara, siapapun itu tanpa pandang bulu wajib memperingati 17 agustus yang akan berlangsung sekitar 2 hari lagi.
Dengan berpakain ala militer bekas pakaian pensiunan tentara, dipakainya begitu bangga dengan pernak-pernik stiker yang bertuliskan “Indonesiaku”dan “Presidenku”di kantonhg kanan dan kirinya serta di perhelangan tangan dijahitnya lambang bendera kebangsaan”Merah Putih”. Inilah sang lelaki yang sangat nasionalis terhadap Negaranya Indonesia yang biasa dipanggil dengan sebutan nama “LAONTA”.
Konon, lelaki yang Lulusan SMEA bau-bau ini, sejak rumahnya mengalami kebakaran dan Ijazahnya terbakar. Ia scara Psikologis mengalami kelainan jiwa. Entah apakah itu benar atau tidak. Tapi penampilannya menandakan seperti itu. Saya sempat berfikir, pantas juga dia menga;lami depresi semacam itu mengingat disitulah tempat tumpuhan harapan serta kasih sayangnya. Ditambah lagi dia memiliki 2 orang anak yang menjadi beban pikirannya mengingat kelak kedua anaknya ini pasti menganjak dewasa butuh sebuah perjuangan yang penuh untuk menghidupi mereka.
Namun bagi saya secara pribadi, jika memang mengalami musibah yang sangat besar, setidakya dia punya kekuatan psikologi sebagai laki-laki yang mampu menahan berbagai amarah atau mampu mengedalikan diri dengan bersabar, sebab kesabaran itu merupakan kata kunsi untuk menuju kegerbang yang baru dalam sebuah kehidupan yang nyata. Cek per cek ternyata  penyebab ia mengalami goncangan jiwa yang berat diakibatkan oleh terbakarnya ijazah yang dimilikinya. Ia pastii memikirkan  tentang kelanjutan hidup yang begitu sulit dalam menjalani kehidupan  Dan taku kehilangan mendapat pengakuan dalam masyarakat sebab kehilangan Ijazah.
Sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia yang baru-baru saja berlangsung diseluruh pelosok negeri, bahwa Ijazah memiliki peran penting dalam mencari nafkah hidup dalam hal ini bekerja membangun sebuah poeradaban bangsa, tanpa ijazah anda takkan mungkin diakui memiliki sebuah keahlian jika anda tidak punya Ijazah. Mungkin inilah yang dipikirkan tukuang cukur yang berjiwa Nasionalisme ini. Namun sekalipun sang tukang cukur ini berjiwa nasionalisme dia takkan lagi diakui oleh Negara memiliki ke ahlian memangkas rambut, sebab kejujuran dan kejernihan hati di Negara Indonesia tercinta tidak mendapat begitu pengakuan yang mantap dan akan tetap dianggap sampah jalanan yang mondar-mandir kesana-kesitu. Negara, tidak mau ambil pusing jika tidak memilki ijazah. Yang jelas ketika sang pemangkas rambut ini menjadi gembel dijalanan, Negara hanya menanggapinya bahwa sang tukang cukur ini tidak memiliki etos kerja yang tinggi, malas dan bahkan menjadi penghalang pembangunan saja.
2 minggu yang lalu, ketika baru saja pulang dari Makassar. Aku melaksanakan shalat jumat secara berjamaah. Maklum. Kali ini secara berjamaah mengingat beberapahari sebelumnya kebencianku terhadap sebagian sesama umat muslim membengkak. Sebab, kebanyakan para Umat Muslim, bagiku mereka tidak pernah memaknai semangat hari jumat itu sendiri.. Dengan tiap minggunya mendengarkan Khutbah pencerahan Imani tetap saja ketika bangsa ini dilanda cagut-marut semangat persatuan itu tidak ada. Hingga  aku putuskan untuk membenci sebagian umat Muslim dan melaksanakan shalat jumat sendirian. Secara  tidak langsung kebanyakan penganut Islam  saat ini menjadikan  agama  sebagai  alat penguasa yakni sebagai Idiologi politik untuk memprtahankan status kuo. Contoh yang paling riil di daerahku adalah seperti yang dilakukan oleh bupati buton untuk merekrut hati masyarakat, ia dengan bangganya membrikan bantun kepada Masjib Agung di kampungku sebesar 25 juta agar anaknya dapat terpilih sebagai bupati pada periode selanjutnya sesudah ia sendiri sebagai bupati yang telah habis masa periodenya dan akan lengser dari jabatannya. Padahal, selama ia memimpin daerah cagut marutnya minta ampun, tidak tertata secara baik.  Yang pastinya kekacauan tidak mampu dibahasakan. Namun, pada hari ini aku menyadari semua. Biarlah rakyat seperti ini, kelak pastinya para masyarakat akan menyadari akan ketertindasannya serta kebedohannya. Akupun merasa bahwa diriku telalu jauh saat ini serta telalu menganggab hebat,  aku terlalu merasa yang terbaik diantara mereka, aku berpikir bahwa jika aku meninggalkan tetap seperti ini dan tidak ada usaha merubahnya dari dalam artinya aku telah malalaikan tanggung jawabku sebagai manusia yang mencintai akan kejujuran dan kebenaran. Maka aku putuskan unutk kembali bersama-sama menunaikan shalat jum’at dengan beberapa warga di kampungku, lakudo yang tercinta.
 Seuasai shalat jum’at aku bertemu dengan salah seorang kawan yang bernam Fachruddin salah seorang Mahasiswa Universitas Haluholeo (UNHALU). Kami duduk bersama di depan teras mesjid  membincangkan tentang keresahan dengan realitas masyarakat yang terjadi hari akhir-akhir ini. Khususya kaum pemuda.
Di awal pembicaraan, kami mengawalinya tentang sebuah peristiwa yang sangat bertentangan dengan sebuah kasus, yang mana kasus ini mengandung sebuah tragedi dengan semakin banyaknya anak-anak muda yang semakin asik serta kecanduan dengan minuman keras, seks, ditambah lagi dengan hilangnya minat para pemuda dalam menghargai sebuah kebudayan daerah. Tapi, apakah budaya itu penting? tandasnya. Kenapa tidak penting, jawabku. Bukankah budaya sebagai mata rantai dalam menyambung hidup yang kemudian dari situ tercipta berbagai peradaban manusia yang kelak anak cucu kita akan memberikan tanggapan tentang kedidupannya saat ini. Sekiranya kalau kita menyadari tentang perjuang para leluhur , jiwa nasionalismenya sangat tinggi, tapi apa yang kita berikan pada para leluhur, kita membalas perjuangan para leluhur dengan sebuah pendustaan serta kebohongan belaka dengan berpura-pura mengadakan acara-acara yang menyangkut kedaerahan tapi makna dari pada symbol-simbol budaya itu tidak pernah untuk dieksplor serta diiplementasikan dalam realitas social. Pahahal, dalam penalaran logis, symbol-simbol itu tidaklah bertentangan dengan agama meski budaya ini sebelunya yang telah diwarisi beberapa generasi dibuat berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Dengan begitu dapatlah disimpulkan, jika adat kebudayaan itu dibuat dengan symbol-simbol budaya dengan pertimbangan kemanusiaan maka begitupun agama memunculkan dirinya berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Dengan ini dapatlah dikatakan adat budaya kita dan agama tidaklah bertentangan mengingat pertimbangan kemanusiaan tadi.
Dalam diskusi dengan fachrudin juga kami membahas tentang system pendidikan yang tengah terjadi di daerah kami khususnya di lakudo yang memiliki kamampuan tiap-tiap individu yang cerdas.
Lakudo, dalam sebuah sejarah masa silam merupakan sebuah daerah otonom kerajaam kesultaan buton. Keratonnya berdiri dii sekitar bukit gunung sebelah timur daya. Dalam sebuah ceritra dikatakan bahwa kerajaan lakudo merupakan salah satu tempat bala pusat para prajurit pertahanan kesultanan buton. Sampai saat ini, peninggalan-peninggalan masih menampakan bentuknya yang indah. Dengan dikelilingi benteng sebagai pembatasan benteng keraton. Dengan relief cagar bebatuan yang unik serta memgkinkan kebenarannya dalam sejarah seritra bahwa ia memiliki ketahanan dalam serangan apapun. Hingga  saat ini masih dihuni oleh beberapa orang  yang masih meneruskan tradsisi keraton, meskipun hanya beberapa orang saja. Itupun dilakukan dalam sebuah tradisi mistic. 
Jika kembali melirik sejarah perjuangan bangsa Indonesia secara umum dalam menghapus segala penindasan dipulau Indonesia(khususnta di Pulau Jawa), revolusi pendidikan itu kemudian mati ketika sitem pendidikan yang ditetarapkan adalah system poloitk etis(politik balas budi). Dalam system ini, dengan kelicikan kaum belanda berhasil menipu beberapa pelajar yang ada diIndonesia, sepanjang politik etis itu berlaku hanya ada tiga jurusan yang diberlakukan dalam system pendidikan yang ada di Indonesia, Yaitu: kesehatan, Tekhnik Mesin,dan pendidikan. Seiring berjalannya system ini ternyata tidak memberikan perubahan bagi bangsa Indonesia sebab tujuan diakdakan system ini hanya bertujuan unutk membantu para colonial saja dalam memperlancar penjajahannya di tanah Indonesia. Dengan pada itu, seirang berlalunya waktu, ditengah-tengah diberlakukannya politik lahirlah seorang Tokoh yang Bernama Bung Karno dkk. Yang kemudian dengan jiwa semangat nasionalisme beliau berhasil menghengkang kaum penjajah(belanda dan jepang )dari bumi kita tercinta, bangsa Indonesia.
Meski telah hengkangnya para penjajah dari tanah tanah air Indonesia, tapi system khususnya dalam hal pendidikan tidak pernah berubah. Perubahan dalam system pendidikan sempat kembali dirumbak, mengngiangat pada zaman soekarnao pemerintah paham betul dengan system penddidikan kolonial yang hanya menciptakan pemuda-pemuda yang tidak memiliki sumberdaya. Seirig perubahan politik yang cagut marut antara tahun 1965/66 era pemerintahan yang dikenal dengan Orde baru kembali menghiasi wajah pertiwi . kepemerintahan pada era orde baru diharapkan untuk kemudian  memperbaiki tatanan kondisi. Bahkan sebaliknya Negara semakin ambruk dengan diterapkannya system liberal yang berefek kepada peralihan pendidikan yang diarahkan untuk para setiap lulusan dapat menempati setiap peruasahaan, system disiplin nilai yang tinggi dan absensi kembali diberlakukan mengingat para pelajar terlalu banyak mencampuri urusan pemerintah. Yang pastinya, para pelajar memperbaiki nilai  dan berusaha mendapatkan Ijazah dan ijazah inilah yang menjadi alat untuk mencari nafkah, maka jangan heran istilah Plagiat telah merambat dengan  ganas di negeri ini. 
System inilah yang telah menjamur di daerahku. Para pelajar dengan semangat tinggi melanjutkan diberbagai daerah yang jauh dari tempat tinggal aslnya. Hasilnya adalah hanya untuk mencari ijazah agar memperoleh pengakuan dalam masyarakat. Tidak seperti laola yang tanpa mendapat pengakua oleh Negara. Dengan alasan yang sangat luhur ingin memperbaiki keadaan daerah, dengan tanpa disadari para pelajar kembali terjebak dalam system pendidikan yang cagut marut, yang mana system pendidikan itu kemudian tidak membentuk karakter dan jiwa Nasionalisme sang pelajar tapi menjadikannya menjadi tenaga-tenaga pengumpul nilai. Kalau saja para sarjana yang ada didaerahku saat ini mau merubah tatanan daerah saat,  maka tentu perubahan akan segera terasa dengan cepat. Tidak membutuhkan banyak orang , sebab, soekarno hanya butuh 10 orang pemuda, siapa bilang kitapun tidak mampu mengendalikan daerah ini. Namun kenyataannya, hadirnya para sarjana yang hampir mencapai 200-an di daerahku, malah menjadikan para penduduk merasa terasing dengan keadaan sekitarnya. Para sarjana, dengan bangganya menggandeng gelar yang disandangkan pada namanya, padahal secara tidak langsung mereka telah menghianati perjuangan para leluhur. Ternyata selama empat tahun pergi kuliah di negeri seberang bukan dengan niat mencari ilmu pengetahuan serta memperbaiki tatanan tetapi mencari nilai sebaik-baiknya yang kemudian nilai itu dijadikan sebagai prasarat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, sekali lagi ia telah lupa menyelamatkan rakyat ketika jaya malah sebaliknya hanya berusaha memperbaiki kehidupan sendiri.  Maka omong kosong berbicara rakyat hari ini, kalau para pelajar kuliah hanya untuk mencari Ijazah, jadi PNS, yang kemudian lupa mau berbuat apa untuk kemajuan daerah. Yang berkembang hanyalah wacana dengan pola bahasa serta gaya bicara yang halus serta sopan namun dibalik itu semua hanya menipu rakyat.
“Biarlah orang menganggab aku miskin serta tidak punya pendidikan yang tinggi hingga tidak memperoleh ijazah serta gelar yang membuat aku dihormati,
Tapi setidaknya aku sadar dengan kenyataan(realitas sosial) saat ini hingga aku merdeka dalam menjalani hidup
 dan mending hidup di rumah gubuk yang sangat kumuh daripada hidup dirumah mewah yang ditindas serta dikendalikan oleh system yang menjadikan kita penjilat dan lupa tentang eksistensi kita sebagai manusia di bumi”

Lakudo(kelurahan Wanepa-nepa)
15 agustus 2010,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar